Sejarah Turun dan Penulisan Mushaf Al Quran

Makalah tentang Sejarah Turun dan Penulisan Mushaf Al Quran



BAB I

PENDAHULUAN

 

Pendahuluan


Betapa pun awamnya seseorang muslim/muslimat, niscaya ia tahu dan memang harus tahu bahwa sumber utama dan pertama ajaran agama yang dianutnya (Islam) ialah al-Qur’an al-Karim. Baru kemudian diikuti dengan al-Hadis/al-Sunnah sebagai sumber penting kedua agama Islam.[1] Beberapa hari menjelang kematiannya, Nabi Muhammad Saw berwasiat kepada umatnya supaya berpegang teguh dengan kedua sumber ajaran Islam tersebut (al-Qur’an dan al Sunnah). Hal ini terungkap dalam sabdanya:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا إِنْ تُمْسِكْتُمْ بِهِمَا : كِتَاب اللهِ وَسُنَّة نَبِيِّهِ (رواه مالك)[2]

Artinya : Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian (umat Islam) dua hal. Kalian tidak akan pernah sesat selama berpegang teguh dengan keduanya yakni Kitabullah (al-Qur’an) dan Sunnah Rasul-Nya (al-hadist). HR. Imam Malik).


Ilmu tafsir bisa mendorong kita untuk mengetahui ilmu-ilmu al-Qur’an sedikit mendalam, serta mendorong kita untuk mengetahui hal-hal yang menunjang pemahaman al-Qur’an yang mulia ini, berupa usaha maksimal, kesungguhan yang optimal pembahasan mendalam. Kesemuanya itu harus dicurahkan dalam rangka studi al-Qur’an yang mulia. 


Betapa usaha para guru besar ternama dan Ulama yang terkenal, dimana mereka telah menghabiskan usia demi terjaminnya permikiran atas wahyu murni sebagai pedoman/undang-undang yang berharga, sejak awal diturunkannya al-Qur’an sampai saat ini. Mereka pulang ke rahmatullah dengan meninggalkan kekayaan ilmu pengetahuan yang melimpah ruah untuk kita, yang sumbernya tak akan kering dan mutiaranya yang tak akan habis disepanjang masa. Namun, sekalipun dengan penuh kesungguhan telah mereka curahkan (dari dahulu hingga sekarang), sungguh al-Qur’an tetap merupakan lautan yang dalam dimana memerlukan penyelam yang terjun ke dalamnya untuk dapat mengambil mutiara dan permata dari dasarnya.[3]


BAB II

PEMBAHASAN

 

Pengertian al qur’an

Menurut etimologi: Al-Qur’an berasal dari kata Qa-ra-a (قرأ) artinya membaca, maka perkataan itu berarti “bacaan”. Maksudnya, agar ia menjadi bacaan atau senantiasa dibaca oleh segenap bangsa manusia terutama oleh para pemeluk agama Islam.[4]


Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang tiada tandingannya (mu’jizat), diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rosul, dengan perantara Malaikat Jibril alahis salam, di tulis dalam mushhaf-mushhaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh orang banyak), serta mempelajarinya merupakan suatu ibadah, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nass.[5]


Perbedaan ulama dalam menelusuri asal-usul kata al-Qur’an, mereka juga tidak seragam dalam memberikan definisi al-Qur’an. Namun demikian, jika direnungkan dengan seksama, terdapat beberapa unsur al-Qur’an yang disepakati oleh para pakar ilmu-ilmu al-Qur’an. Unsur-unsur al-Qur’an yang dimaksudkan ialah :[6]


Pertamaal-Qur’an adalah wahyu atau Kalam Allah SWT. Semua definisi yang diberikan para ahli, selalu diawali dengan penyebutan al-Qur’an sebagai Kalam atau wahyu Allah.[7] Perhatikan misalnya definisi al-Qur’an yang menurut Muahmmad Ali al-Shabuni konon telah disepakati oleh para ulama khususnya para ulama ushulul fikih yaitu:

القرآن هو كلام الله المعجز المنزل على خاتم الأنبياء والمرسلين بواسطة الأمين جبريل عليه وسلّم المكتوب فى المصاحف المنقول الينا بالتّواتر المتعبد بتلاوته المبدوء بسورة الفاتحة المختتم بسورة النّاس.[8]

Artinya : Al-Qur’an ialah Kalam Allah yang (memiliki) mukjizat, diturunkan kepada penutup para nabi dan rasul, dengan melalui perantara Malaikat Jibril AS, ditulis dalam berbagai mushhaf, dinukilkan kepada kita dengan cara tawatur (mutawatir) yang dianggap ibadah dengan membacanya, dimulai dengan surat al-Fatihah, dan ditutup dengan surat al-Nas.

القرآن هو الوحي المنزل من عند الله إلى رسوله محمد بن عبد الله خاتم الأنبياء المنقول منه بالتواتر لفظا زمعنى وهو آخر الكتب السماوية نزلا.[9]

Artinya : Al-Qur’an ialah wahyu Allah yang diturunkan dari sisi Allah kepada Rasul-Nya Muhammad Ibn ‘Abdullah, penutup para nabi, yang dinukilkan dari padanya dengan penukilan yang mutawatir nazham/lafal maupun maknanya, dan merupakan kitab sawawi yang paling akhir penurunannya.

Sebagai wahyu Allah, tentu saja al-Qur’an mutlak bukan puitisi penyair (pujangga), bukan mantera-mantera tukang tenung, bukan bisikan syaitan yang terkutuk; bahkan juga bukan sabda Nabi Muhammad SAW,[10] bukan perkataan selain Dia.


Keduaditurunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ini menunjukkan bahwa kalam atau wahyu Allah yang diturunkan kepada para nabi dan rosul Allah yang lain tidak dapat dinamakan al-Qur’an. Sebab, seperti ditegaskan sebelum ini, al-Qur’an adalah nama khusus yang diberikan Allah terhadap kitab suci-Nya yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Karenanya, kitab-kitab Allah yang lain-Zabur, Taurat, dan Injil- tidak boleh disebut sebagai al-Qur’an meskipun sama-sama wahyu dan orang yang menerimanya sama-sama nabi dan atau rasul Allah. Terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu ayat-ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.


Ketiga, al-Qur’an disampaikan melalui Malaikat Jibril AS. Semua ayat al-Qur’an diwahyukan dengan perantaraan Malaikat Jibril. Memang ada segelintir pendapat yang menyatakan bahwa sebagian al-Qur’an – diantaranya surat al-Kautsar menurut mereka – disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW secara langsung, tidak melalui perantara Malaikat Jibril AS, tetapi pendapat ini selalu di bantah banyak pihak.  


Keempatal-Qur’an diturunkan dalam bentuk lafal Arab. Para ulama menyakini bahwa al-Qur’an diturunkan dari Allah SWT bukan semata-mata dalam bentuk makna seperti halnya dengan Hadis Qudsi, akan tetapi juga sekaligus lafalnya. Perhatikan kata lafzhan wa ma’anan  dalam definisi al-Qur’an yang dikemukan ‘Afif Abd al-Fattah Thabbarah di atas. Demikian juga halnya dengan beberapa ta’rif al-Qur’an yang diformulasikan para ahli ilmu-ilmu al-Qur’an yang lain. Karena al-Qur’an itu lafal dan maknanya berasal dari Allah SWT, maka terjemahan al-Qur’an dan bahkan tafsirnya yang dalam bahasa Arab sekalipun, tidak dapat dikatakan sebagai al-Qur’an.


Al-Qur’an yang secara harfiah berarti “bacaan sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi Al-Qur’an Al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu.[11]

Hikmah diwahyukannya al qur’an secara berangsur-angsur

Al-qur’an turun secara berangsur-angsur selama 23 tahun. 13 tahun di Mekkah menurut pendapat yang rajih (kuat) dan 10 tahun di Madinah. Sebagai bukti dan dalil tentang turunnya al-qur’an secara berangsur-angsur dapat diketahui dari firman Allah surat al-Isra’ ayat 106 :

“Dan al-qur’an itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakan perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian”.

Dan juga firman Allah surat al-Furqan ayat 32 :

“Berkatalah orang-orang kafir: “mengapa al-qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja ?”, demikian supaya Kami hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar)”.

Kedua ayat diatas menunjukkan suatu bukti bahwa al-qur’an diturunkan secara beransur-angsur, bagian demi bagian sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi, tidak sebagaimana halnya kitab-kitab samawi yang lain, seperti Taurat, Injil dan Zabur yang turunnya sekaligus. Seandainya kitab-kitab tersebut diturunkan secara berangsur-angsur tentulah orang-orang kafir tidak merasa heran terhadap al-qur’an yang turun secara berangsur-angsur.

  • Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan beberapa hikmah tentang diwahyukannya al-qur’an secara berangsur-angsur:
  • Untuk menguatkan atau mengukuhkan hati Rasulullah SAW dalam melaksanakan tugas sucinya, sekalipun ia menghadapi hambatan dan tantangan yang beraneka ragam.
  • Untuk menghibur hati Nabi pada saat ia menghadapi kesulitan, kesedihan datau perlawanan dari orang-orang kafir.
  • Untuk memudahkan Rasulullah dan para pengikutnya menghafal al-qur’an, karena mereka pada umumnya ummi arau buta huruf..
  • Agar mudah dimengerti dan dilaksanakan segala isinya, sebab siapa pun orangnya, ia akan enggan melaksanakan perintah atau larangan yang diberikan sekaligus, karena dirasakan sangat berat.
  • Untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau penolakan terhadap suatu pendapat yang berkembang atau perbuatan yang dilakukan.
  • Untuk meneguhkan dan menghibur hati pada pengikutnya yang hidup semasa dengannya dalam menghadapi pahit getirnya perjuangan menegakkan kebenaran dan ajaran tauhid.
  • Untuk memudahkan mereka sedikit demi sedikit meninggalkan tradisi-tradisi jahiliyah yang negative, seperti minum khamar dan lain-lain.
  • Untuk menujukkan satu kenyataan yang tidak dapat dibantah tentang eksistensi al-qur’an sendiri, bahwa ia merupakan kalamullah semata.

Mereka yang berpendapat bahwa al-qur’an itu ada nasikh dan mansukh. Bagi mereka. Salah satu hikmah turunnya al-qur’an secara berangsur-angsur adalah karena diantara ayat-ayat al-qur’an itu ada yang perlu dinasikhkan oleh Tuhan dan digantinya ayat yang baru.

Turunnya al-qur’an adalah secara berangsur-angsur ialah sesuai dengan sunnatullah yang berlaku di seluruh alam ini. Semuanya berangsur-angsur atau evolusi, dari kecil berangsur-angsur jadi besar.[12]

 

Pengumpulan al qur’an (jam’ul qur’an)

Merujuk kepada definisi al-Qur’an yang sebelumnya telah disepakati oleh para ulama’:

“Al-Qur’an adalah kalam Allah yang berupa mukjizat, diturunkan kepada Muhammad saw. dan dinukil kepada kita secara mutawatir, serta dinilai beribadah ketika membacanya”

Maka, materi al-Qur’an yang merupakan mukjizat itu sampai kepada kita melalui proses penukilan, bukan periwayatan. Dengan begitu dapat diartikan dengan memindahkan materi yang sama dari sumber asli ke dalam mushaf. Karena itu, pengumpulan al-Qur’an itu tidak lain merupakan bentuk penghafalan al-Qur’an di dada dan penulisannya dalam lembaran. Sebab, dua realitas inilah yang mencerminkan proses penukilan materi al-Qur’an. Dua realitas penghafalan al-Qur’an di dada dan penulisannya dalam lembaran ini secara real telah berlangsung dari kurun ke kurun, sejak Rasul hingga kini, dan bahkan Hari Kiamat.[13]

Ditinjau dari segi bahasa, al-Jam’u berasal dari kata  يخمعجمع yang artinya mengumpulkan. Sedangkan pengertian al-Jam’u secara terminologi, para ulama berbeda pendapat. Menurut Az-Zarqani, Jam’ul Qur’an mengandung dua pengertian. Pertama mengandung makna menghafal al-Qur’an dalam hati, dan kedua yaitu menuliskan huruf demi huruf dan ayat demi ayat yang telah diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Menurut al-Qurtubi dan Ibnu Katsir maksud dari Jam’ul Qur’an adalah menghimpun al-Qur’an dalam hati atau menghafal al-Qur’an.[14]

Menurut Ahmad von Denffer, istilah pengumpulan al-Qur’an (jam’ al-qur’ân) dalam literatur klasik itu mempunyai berbagai makna,[15] antara lain:

  • Al-Qur’an dicerna oleh hati.
  • Menulis kembali tiap pewahyuan.
  • Menghadirkan materi al-Qur’an untuk ditulis.
  • Menghadirkan laporan (tulisan) para penulis wahyu yang telah menghafal al-Qur’an.
  • Menghadirkan seluruh sumber, baik lisan maupun tulisan.

Berdasarkan pendapat para ulama di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan Jam’ul Qur’an adalah usaha penghimpunan dan pemeliharaan al-Qur’an yang meliputi penghafalan, serta penulisan ayat-ayat serta surat-surat dalam al-Qur’an.[16]

 

Jam’ul Qur’an Periode Nabi.

Pengumpulan dalam dada.

Secara kodrati, bangsa arab memiliki daya hafal yang kuat. Hal itu dikarenakan sebagian besar dari mereka buta huruf atau tidak dapat membaca dan menulis. Sehingga dalam menulis berita, syair, atau silsilah keluarga mereka hanya menuliskannya dalam hati. Termasuk ketika mereka menerima ayat-ayat al-Qur’an yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.

Dalam kitab shahih Bukhari, dikemukakan bahwa terdapat tujuh Huffaz melalui tiga riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan, dan Abu Darda.

Pengumpulan dalam bentuk tulisan

Rasulullah telah mengangkat para penulis wahyu Qur’an dari para sahabat pilihan seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abban bin Sa‘id, Khalid bin Sa‘id, Khalid bin al-Walid, Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, Ubay bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit. Selain penulis wahyu, para sahabat yang lainnya pun ikut menulis ayat-ayat al-Qur’an. Kegiatan ini didasarkan pada sebuah hadits Nabi.[17] :

لَا تَكْتُبُوْاعَنِّي شَيْئًاإِلَّاالْقُرْاٰنَ وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي سِوَى الْقُرْاٰنَ فَلْيَمْحُهُ.

Artinya :

“Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku kecuali al-Qur’an. Barang siapa telah menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya.” (H.R. Muslim)

Diantara faktor pendorong penulisan al-Qur’an pada masa Nabi[18] adalah :

  • Mem-back up hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.
  • Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak dari hafalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau sebagian dari mereka sudah wafat. Adapun tulisan tulisan akan tetap terpelihara walaupun pada masa Nabi al-Qur’an tidak ditulis di tempat tertentu.

Dalam suatu cacatan, disebutkan bahwa sejumlah bahan yang digunakan untuk menyalin wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad,[19] yaitu : 

  • Riqa, atau lembaran lontar (daun yang dikeringkan) atau perkamen (kulit binatang).
  • Likhaf, atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur yang terbelah secara horizontal lantaran panas.
  • ‘Asib, atau pelapah kurma, terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma yang tipis.
  • Aktaf, atau tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta.
  • Adlla’ atau tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari tulang rusuk unta.
  • Adim, atau lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang asli yang merupakan bahan utama untuk menulis ketika itu.

Para sahabat menyodorkan al-Qur’an kepada Rasulullah secara hafalan maupun tulisan. Tetapi tulisan-tulisan yang terkumpul pada jaman nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf, dan yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki yang lainnya.


Jam’ul Qur’an periode Abu Bakar Ash-Shidiq

Pasca wafatnya Rasulullah SAW, kekhalifahan bangsa Arab beralih kepada Abu Bakar. Pada masa kekhalifahannya, Abu Bakar dihadapkan oleh kemurtadan yang terjadi di kalangan bangsa Arab. Abu Bakar pun segera mengerahkan pasukan untuk menumpas kemurtadan. Perang itupun dikenal dengan sebutan Perang Yamamah yang terjadi pada tahun 11 H/633 M.

Dalam perang tersebut, sekitar 70 orang Huffaz mati Syahid. Umar bin Khattab merasa khawatir atas peristiwa ini. Maka Umar mengadukan kekhawatirannya tersebut kepada Abu Bakar.

Diceritakan bahwa Bukhari meriwayatkan di dalam shahihnya dari Zaid bin Tsabit, ia berkata:

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman Telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhri dia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Ibnu As Sabbaq bahwa Zaid bin Tsabit Al Anshari radliallahu 'anhu -salah seorang penulis wahyu- dia berkata; Abu Bakar As shiddiq datang kepadaku pada waktu perang Yamamah, ketika itu Umar disampingnya. Abu Bakr berkata bahwasanya Umar mendatangiku dan mengatakan; "Sesungguhnya perang Yamamah telah berkecamuk (menimpa) para sahabat, dan aku khawatir akan menimpa para penghafal Qur'an di negeri-negeri lainnya sehingga banyak yang gugur dari mereka kecuali engkau memerintahkan pengumpulan (pendokumentasian) al Qur`an." Abu Bakar berkata kepada Umar; "Bagaimana aku mengerjakan suatu proyek yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?" Umar menjawab; "Demi Allah hal itu adalah sesuatu yang baik." Ia terus mengulangi hal itu sampai Allah melapangkan dadaku sebagaimana melapangkan dada Umar dan aku sependapat dengannya. Zaid berkata; Abu Bakar berkata; -pada waktu itu disampingnya ada Umar sedang duduk, dan dia tidak berkata apa-apa.- "Sesungguhnya kamu adalah pemuda yang cerdas, kami tidak meragukanmu, dan kamu juga menulis wahyu untuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, karena itu kumpulkanlah al Qur'an (dengan seksama)." Zaid berkata; "Demi Allah, seandainya mereka menyuruhku untuk memindahkan gunung dari gunung-gunung yang ada, maka hal itu tidak lebih berat bagiku dari pada (pengumpulan atau pendokumentasian al Qur'an). kenapa kalian mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?" Abu Bakar menjawab; "Demi Allah hal itu adalah baik." Aku pun terus mengulanginya, sehingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana melapangkan dada keduanya (Abu Bakar dan Umar). Lalu aku kumpulkan al Qur'an (yang ditulis) pada kulit, pelepah kurma, dan batu putih lunak, juga dada (hafalan) para sahabat. Hingga aku mendapatkan dua ayat dari surat Taubah berada pada Khuzaimah yang tidak aku temukan pada sahabat mana pun. Yaitu ayat: Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung." (9: 128-129). Dan mushaf yang telah aku kumpulkan itu berada pada Abu Bakr hingga dia wafat, kemudian berada pada Umar hingga dia wafat, setelah itu berada pada Hafshah putri Umar. 

Diriwiyatkan pula oleh 'Utsman bin 'Umar dan Al Laits dari Yunus dari Ibnu Syihab; Al Laits berkata; Telah menceritakan kepadaku 'Abdur Rahman bin Khalid dari Ibnu Syihab; dia berkata; ada pada Abu Huzaimah Al Anshari. Sedang Musa berkata; Dari Ibrahim Telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab; 'Ada pada Abu Khuzaimah.' Juga diriwayatkan oleh Ya'qub bin Ibrahim dari Bapaknya. Abu Tsabit berkata; Telah menceritakan kepada kami Ibrahim dia berkata; 'Ada pada Khuzaimah atau Abu Khuzaimah.[20]

Jati diri Zaid bin Tsabit begitu istimewa sehingga tak heran Abu Bakar dan Umar diberikan kelapangan dada untuk memberikan tugas tersebut pada Zaid bin Tsabit, yang mana sebagai pengumpul dan pengawas komisi ini Zaid bin Tsabit dibantu Umar sebagai sahibul fikrah yakni pembantu khusus. Beberapa keistimewaan tersebut diantaranya adalah[21] :

  1. Berusia muda, saat itu usianya di awal 20-an (secara fisik & psikis kondisi prima)
  2. Akhlak yang tak pernah tercemar, ini terlihat dari pengakuan Abu Bakar yang mengatakan bahwa, “Kami tidak pernah memiliki prasangka negatif terhadap anda”.
  3. Kedekatannya dengan Rasulullah SAW, karena semasa hidup Nabi, Zaid tinggal berdekatan dengan beliau.
  4. Pengalamannya di masa Rasulullah SAW masih hidup sebagai penulis wahyu dan dalam satu kondisi tertentu pernah Zaid berada di antara beberapa sahabat yang sempat mendengar bacaan al-Qur’an malaikat jibril bersama Rasulullah SAW di bulan Ramadhan.
  5. Kecerdasan yang dimilikinya menunjukkan bahwa tidak hanya karena memiliki vitalitas dan energi namun kompetensinya dalam kecerdasan spiritual dan intelektual

Seperti diceritakan diatas, pengumpulan al-Qur’an dilaksanakan oleh Zaid atas arahan khalifah. Waktu pengumpulan Zaid terhadap al-Qur’an sendiri sekitar 1 tahun. Hal ini dikarenakan Zaid bin Tsabit melakukannya dengan sangat hati-hati. Hal yang pertama kali Zaid lakukan adalah mengumumkan bahwa siapa saja yang memiliki berapapun ayat al-Qur’an, hendaklah diserahkan kepadanya. Ia tidak akan menerima satu ayat pun melainkan orang tersebut membawa bukti dan dua orang saksi yang menyatakan bahwa apa yang ia bawa adalah wahyu Qur’ani. Bukti pertama adalah naskah tertulis. Bukti kedua adalah hafalan, yaitu kesaksian orang-orang bahwa pembawa al-Qur’an itu telah mendengarnya dari Rasulullah SAW.[22]

Buah hasil kerja Zaid sangat teliti dan hati-hati sehingga memiliki akurasi yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan :

  1. Menulis hanya ayat al-Qur’an yang telah disepakati mutawatir riwayatnya.
  2. Mencakup semua ayat al-Qur’an yang tidak mansukh al-Tilawah.
  3. Susunan ayatnya seperti yang dapat kita baca pada ayat-ayat yang tersusun dalam al-Qur’an sekarang ini.
  4. Tulisannya mencakup al-ahruf al-sab’ah sebagaimana al-Qur’an itu diturunkan.
  5. Membuang segala tulisan yang tidak termasuk bagian dari al-Qur’an.

Senada dengan itu, al-Zarqani menyebutkan bahwa ciri-ciri penulisan al-Qur’an pada masa khalifah Abu Bakar ini adalah :

  1. Seluruh ayat al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf berdasarkan penelitian yang cermat dan seksama.
  2. Tidak termasuk di dalamnya ayat-ayat al-Qur’an yang telah mansukh atau dinasakh bacaannya.
  3. Seluruh ayat al-Qur’an yang ditulis di dalamnya telah diakui kemutawatirannya.

Kekhusususan hasil kerja Zaid sendiri membedakan dengan catatan para sahabat yang menjadi dokumentasi pribadi. Catatan mereka yang masih mencakup ayat-ayat yang mansukh al-Tilawah, ayat-ayat yang termasuk kategori riwayat al-Ahad, catatan doa dan tulisan yang diklasifikasikan sebagai sebagai tafsir dan takwil.

Setelah semua ayat al-Qur’an terkumpul, kumpulan tersebut disimpan dalam kotak kulit yang disebut “Rab’ah”. Kemudian kumpulan tersebut diserahkan kepada Abu Bakar. Setelah beliau wafat, kumpulan atau lembaran-lembaran tersebut berpidah tangan kepada Umar. Lalu setelah Umar wafat, maka lembaran-lembaran tersebut disimpan oleh putrinya sekaligus istri Rasulullah SAW yaitu Hafsah binti Umar.

 

Jam’ul Qur’an Periode Utsman

Penyebaran Islam bertambah luas, dan para Qurra‘ pun tersebar ke seluruh wilayah hingga ke arah utara Jazirah Arab sampai Azerbaijan dan Armenia. Setiap wilayah diutuslah seorang Qari. Maka bacaan al-Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda. Berasal dari suku kabilah dan provinsi yang beragama sejak awal pasukan tempur memiliki dialek yang berlainan. Nabi Muhammad SAW sendiri memang telah mengajarkan membaca al-Qur’an berdasarkan dialek mereka masing-masing lantaran dirasa sulit untuk meninggalkan dialek mereka secara spontan. Namun kemudian adanya perbedaan dalam penyebutan atau membaca al-Qur’an yang kemudian menimbulkan kerancuan dan perselisihan dalam masyarakat.

Ketika itu, orang yang mendengar bacaan al-Qur’an yang berbeda dengan bacaan yang ia gunakan menyalahkannya. Bahkan mereka saling mengafirkan. Hal ini membuat Huzaifah bin al-Yaman resah dan mengadukan hal tersebut kepada Utsman. Menanggapi hal tersebut, Utsman mengirim utusan kepada Hafsah dan meminjam mushaf Abu Bakar. Kemudian Utsman memanggil Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin “As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam. Keriga orang terakhir adalah orang Quraisy. Utsman memerintahkan agar apa yang diperselisihkan Zaid dengan ketiga orang Quraisy itu ditulis dalam bahasa Quraisy, karena Qur’an turun dalam logat mereka.

Setelah mereka melakukan hal itu, Utsman mengembalikan mushaf kepada Hafsah. Mereka menyalinnya ke dalam beberapa mushaf baru tersebut dan memerintahkan agar semua Qur’an/mushaf lainnya dibakar. Mushaf tersebutlah yang dikenal dengan mushaf Utsmani.

Al-Zarqani sendiri mencatat bahwa ciri-ciri mushaf yang disalin pada Khalifah Usman adalah sebagai berikut :

  1. Ayat-ayat al-Qur’an yang tertulis di dalamnya seluruhnya berdasarkan riwayat yang mutawwir berasal dari Rasulullah.
  2. Tidak terdapat di dalamnya ayat-ayat al-Qur’an yang mansukh atau dinasakh bacaannya.
  3. Susunan menurut urutan wahyu.
  4. Tidak terdapat di dalamnya yang tidak tergolong pada al-Qur’an seperti apa yang ditulis oleh sebagian sahabat dalam mushaf masing-masing sebagai penjelasan atau keterangan terhadap ayat-ayat tertentu.
  5. Mushaf yang ditulis pada masa khalifah usman tersebut mencakup “tujuh huruf” dimana al-Qur’an diturunkan dengannya.

Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca seperti titik dan syakal karena semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab murni di mana mereka tidak memerlukan syakal, titik dan tanda baca lainnya seperti yang kita kenal sekarang ini. Pada masa itu tulisan hanya terdiri atas beberapa simbol dasar, hanya melukiskan struktur konsonan dari sebuah kata yang sering menimbulkan kekaburan lantaran hanya berbentuk garis lurus semata.


1.      Rosum Al qur’an

a.      Pengertian Rasmul Qur’an dari Berbagai Sumber

      Rasmul Al-Qur’an atau yang lebih dikenal dengan  Ar-Rasm Al-‘Utsmani lil Mushaf (penulisan mushaf Utsmani) adalah : Suatu metode khusus dalam penulisan Al-Qur’an yang di tempuh oleh Zaid bin Tsabit bersama tiga orang Quraisy yang di setujui oleh Utsman.[23]

Rasmul al-Qur’an yaitu : Penulisan Al-Qur’an yang dilakukan oleh 4 sahabat yang dikepalai oleh Zaid bin Tsabit, dibantu tiga sahabat yaitu Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib, dan Utsman bin Affan yang dilatar belakangi oleh saran dari Umar bin Khattab kepada Abu Bakar, kemudian keduanya meminta kepada Zaid bin Tsabit selaku penulis wahyu pada zaman Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam untuk mengumpulkan (menulis) Al-Qur’an  karena banyaknya para sahabat dan khususnya 700 penghafal Al-Qur’an syahid pada perang Yamamah.[24]

Metode khusus dalam Al-Qur’an yang digunakan oleh 4 sahabat yaitu: Zaid bin Tsabit, Ubay ibn Ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan bersama  disetujui oleh khalifah Utsman. Istilah rasmul Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an. Yaitu mushaf yang ditulis oleh panitia empat yang terdiri dari, Mus bin zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu. Para ulama meringkas kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu :

  1. Al–Hadzf (membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’ nida’ (يَآيُّهَا النَّاسُ).
  2. Al–Jiyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hokum jama’ (بنوا اسرا ئيل ) dan menambah alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu ( تالله تفتؤا).
  3. Al–Hamzah, Salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah ber-harakat sukun, ditulis dengan huruf ber-harakat yang sebelunya, contoh (ائذن ).
  4. Badal (penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata (الصلوة).
  5. Washal dan fashl(penyambungan dan pemisahan),seperti kata kul yang diiringi dengan kata maditulis dengan disambung (كلما).
  6. Kata yang dapat di baca dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi,penulisanya disesuaikan dengan salah salah satu bunyinya. Di dalam mushaf ustmani,penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, contohnya,(ملك يوم الدين ). Ayt ini boleh dibaca dengan menetapkan alif(yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat(yakni dibaca satu alif).

b. Pendapat Para Ulama Tentang Rasmul Qur’an.

Para ulama telah berbeda pendapat mengenai status rasmul Al-Qur’an ini. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasmul qur’an bersifat tauqifi yang mana mereka merujuk pada sebuah riwayat yang menginformasikan bahwa nabi pernah berpesan kepada mu’awiyah, salah seorang seketarisnya, “Ambillah tinta, tulislah huruf” dengan qalam (pena), rentangkan huruf “baa”, bedakan huruf “siin”, jangan merapatkan lubang huruf “miim”, tulis lafadz “Allah” yang baik, panjangkan lafadz “Ar-Rahman”, dan tulislah lafadz “Ar-Rahim” yang indah kemudian letakkan qalam-mu pada telinga kiri, ia akan selalu mengingat Engkau. Merekapun mengutip pernyataan Ibnu Mubarak :“Tidak seujung rambutpun dari huruf Qur’ani yang ditulis oleh seorang sahabat Nabi atau lainnya. Rasm Qur’ani adalah tauqif dari Nabi (yakni atas dasar petunjuk dan tuntunan langsung dari Rasulullah SAW). Beliaulah yang menyuruh mereka (para sahabat) menulis rasm qur’ani itu dalam bentuk yang kita kenal, termasuk tambahan huruf alif dan pengurangannya, untuk kepentingan rahasia yang tidak dapat dijangkau akal fikiran, yaitu rahasia yang dikhususkan Allah bagi kitab-kitab suci lainnya”.

Sebagian besar para ulama berpendapat bahwa rasmul qur’an bukan tauqifi,tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan yang disetujui oleh ustman dan diterima umat,sehingga wajib diikuti dan di taati siapapun yang menulis alqur’an. Tidak yang boleh menyalahinnya, banyak ulama terkemuka yang menyatakan perlunya konsistensi menggunakan rasmul ustmani.

Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan Al Qur’an versi Mushaf ‘Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi (tauqifi). Pola itu harus dipertahankan walaupun beberapa di antaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Malik berpendapat haram hukumnya menulis Al Qur’an menyalahi rasm ‘Utsmani. Bagaimanpun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur ulama).

Ulama yang tidak mengakui rasm ‘Utsmani sebagai rasm tauqifi, berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Al Qur’an ditulis dengan pola penulisan standar (rasm imla’i). Soal pola penulisan diserahkan kepada pembaca. Kalau pembaca lebih mudah dengan rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola tersebut, karena pola penulisan itu hanya simbol pembacaan, dan tidak mempengaruhi makna Al Qur’an.


c. Kaitan Rusmul Qur’an Dengan Qira’at

Secara etimologi Qiraat adalah jamak dari Qira’ah, yang berarti ‘bacaan’, dan ia adalah masdar(verbal noun) dari Qara’a. Secara terminologi atau istilah ilmiyah Qiraat adalah salah satu Mazhab (aliran) pengucapan Qur’an yang dipilih oleh seorang imam qurra’ sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab yang lainya.

Qiraat ini ditetapkan berdasarkan sabad-sanadnya sampai kepada Rasulullah. Periode qurra’ (ahli / imam qiraat) yang mengajarkan bacaan Qur’an kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adlah dengan berpedoman kepada masa para sahabat.diantara para sahabat yang terkenal yang mengajarkan qiraat ialah Ubai, Ali, Zaid bin Sabit, Ibn Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari dan lain-lain. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan Tabi’in di berbagai negri belajar qira’at yang semuanya bersandar kepada Rasulullah.[25]

Sahabat-sahabat nabi terdiri dari beberapa golongan. Tiap-tiap golongan itu mempunya lahjah (bunyi suara / sebutan) yang berlainan satu sama lain. Memaksa mereka menyebut pembacaan atau membunyikan al-Qur’an dengan lahjah yang tidak mereka biasakan, suatu hal menyukarkan. Maka untuk mewujudkan kemudahan, Allah Yang Maha Bijaksana menurunkan al-Qur’an dengan lahjah-lahjah yang biasa dipakai oleh golongan Quraisy dan oleh golongan-golongan yang lain di tanah Arab. Oleh karna itu menghasilkan bacaan al-Qur’an dalam berbagai rupa atau macam bunyi lahjah. Dan bunyi lahjah yang biasa ditanah Arab ada tujuh macam. 

Di samping itu ada beberapa lahjah lagi. Sahabt-sahabat nabi menerima al-Qur’an dari nabi menurut lahjah bahasa golonganya. Dan masing-masing mereka meriwayatkan al-Qur’an menurut lahjah mereka sendiri. Sesudah itu munculah segolongan ulama yang serius mendalami ilmu qira’at sehingga mereka menjadi pemuka qira’at yang dipegangi dan dipercayai. Oleh karena mereka semata-mata mendalami qira’at untuk mendakwahkan al-Qur’an pada umatnya sesuai dengan lahjah tadi. Kemudian muncullah qurra-qurra yang kian hari kian banyak. Maka ada diantara mereka yang mempunyai keteguhan tilawahnya, lagi masyhu, mempunyai riwayah dan dirayah dan ada diantara mereka yang hanya mempunyai sesuatu sifat saja dari sifat-sifat tersebut yang menimbulkan perselisihan yang banyak.

Untuk menghindarkan umat dari kekeliruan para ulama berusaha menerangkan mana yang hak mana yang batil. Maka segala qira’at yang dapat disesuaikan dengan bahasa arab dan dapat disesuaikan dengan salah satu mushaf Usmani serta sah pula sanadnya dipandang qira’at yang bebas masuk kedalam qira’at tujuh, maupun diterimanya dari imam yang sepuluh ataupun dari yang lain.

Meskipun mushaf Utsmani tetap dianggap sebagai satu-satunya mushaf yang dijadikan pegangan bagi umat Islam diseluruh dunia dalam pembacaan Al-Qur’an, namun demikian masih terdapat juga perbedaan dalam pembacaan. Hal ini disebabkan penulisan Al-Qur’an itu sendiri pada waktu itu belum mengenal adanya tanda-tanda titik pada huruf-huruf yang hampir sama dan belum ada baris harakat.

Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa keberadaan mushaf ‘ustmani yang tidak berharakat dan bertitik ternyata masih membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai qira’at. Hal itu di buktikan dengan masih terdapatnya keragaman cara membaca Al-Qur’an. Dengan demikian hubungan rasmul Qur’an dengan Qira’at sangat erat. Karena semakin lengkap petunjuk yang dapat ditangkap semakin sedikit pula kesulitan untuk mengungkap pengertian-pengertian yang terkandung didalam Al-Qur’an.Untuk mengatasi permasalahan tersebut Abu Aswad Ad-Duali berusaha menghilangkan kesulitan-kesulitan yang sering dialami oleh orang-orang Islam non Arab dalam membaca Al-Qur’an dengan memberikan tanda-tanda yang diperlukan untuk menolong mereka membaca ayat-ayat al-Qur’an dan memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an tersebut.

 

 

BAB III

KESIMPULAN

 

Kesimpulan


a.  Pengertian al-Qur’an menurut etimologi: Al-Qur’an berasal dari kata Qa-ra-a (قرأ) artinya membaca, maka perkataan itu berarti “bacaan”. Maksudnya, agar ia menjadi bacaan atau senantiasa dibaca oleh segenap bangsa manusia terutama oleh para pemeluk agama Islam. Dan secara terminologi adalah: Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang tiada tandingannya (mu’jizat), diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rosul, dengan perantara Malaikat Jibril alahis salam, di tulis dalam mushhaf-mushhaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh orang banyak), serta mempelajarinya merupakan suatu ibadah, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nass.


b.      Ada banyak hikmah Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, diantaranya: Meneguhkan hati Nabi Muhammad SAW, menentang dan melemahkan para penentang Al-Qur’an, meringankan Nabi dalam menerima wahyu, mempermudah dalam menghafal Al-Qur’an dan memberi pemahaman bagi kaum muslimin, Tadarruj (selangkah demi selangkah) dalam menetapkan hukum samawi, sejalan dengan kisah-kisah yang terjadi dan mengingatkan atas kejadian-kejadian itu, dan petunjuk terhadap asal (sumber) Al-Qur’an bahwasanyan Al-Qur’an diturunkan dari zat yang maha bijaksana lagi terpuji.


c.    Yang dimaksud dengan pengumpulan Qur’an (jam’ul Qur’an) oleh para ulama adalah salah satu dari dua pengertian berikut: Pertama: pengumpulan dalam arti hifzuhu (menghafalnya dalam hati). Jumma’ul Qur’an artinya huffazuhu (penghafal-penghafalannya, orang yang menghafalkannya didalam hati). Kedua: pengumpulan dalam arti kitabatuhu kullihi (penulisan Qur’an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surah, sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.


d.  Rasmul qur’an atau rasmul ustmani adalah tata cara menuliskan Al-qur’an yang ditetapkan pada masa khalifah ustman bin affan dengan kaidah-kaidah tertentu. Sebagian para ulama berpendapat bahwa rasmul qur’an bersifat tauqifi, tapi sebagian besar para ulama berpendapat bahwa rasmul qur’an bukan tauqifi,tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan yang disetujui ustman dan diterima umatnya,sehingga wajib wajib diikuti dan di taati siapa pun ketika menulis al-qur’an. Tidak boleh ada yang menyalahinya. Hubungan antara rasmul qur’an dan qira’ah sangat erat sekali Karena semakin lengkap petunjuk yang dapat ditangkap semakin sedikit pula kesulitan untuk mengungkap pengertian-pengertian yang terkandung didalam Al-qur’an.Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa keberadaan mushaf ‘ustmani yang tidak berharakat dan bertitik ternyata masih membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai qira’at. Hal itu di buktikan dengan masih terdapatnya keragaman cara membaca Al-Qur’an.



[1] Hubungan al-Qur’an dengan al-Hadis teramat erat, laksana hubungan antara Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran  Rumah Tangga (ART) dalam sebuah organisasi.
[2] Imam Malik, al-Muwaththa’, h.602
[3] Mohammad Aly Ash Shabuny, Pengantar Study al-Qur’an, Bandung, PT. Al-Ma’arif, 1984, h. 17 
[4] Munawar Chalil, Al-qur’an dari Masa ke Masa, t.k.; Ramadhani, t.t., h.1
[5] Ibid, h.18
[6] Muhammad Amin Suma,  Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2000. h. 23-27
[7] Terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu jumlah ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan oleh Allah SWT Di antaranya ialah : al-An’am (6): 155, al-Furqon (25): 6, al-Zumar (39): 1, al-Sajadah (41): 2 dan al-Najm (53): 4.
[8] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi’Ulum al-Qur’an, Damsyik-Siriya, Maktabah al-Ghazali, 1401 H/1981 M, h. 6
[9] ‘Afif “abd al-Fattah Thabbarah, Ruh al-Din al-Islami, Beirut Lubhan, Dar al-‘ilm li al-Malayin, h. 18
[10] Perhatikan dengan cermat beberapa Fiman Allah dalam al-Qur’an di antaranya : al-Haqqah (69): 41 dan 42, al-Takwir (81): 25 dan Yunus (10): 37.
[11] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung. Mizan, 1996. h. 3
[12] Abd. Chalik, Drs. H. A. Chaerudji, “Ulum Al-Qur’an”. Diadit Media. Jakarta Pusat. 2007. h.
[13] Hafidz Abdurrahman, Ulumul Qur’an Praktis, Idea Pustaka Utama, Bogor, 2003, hlm. 82
[14] Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, Pustaka Setia, Bandung, 2006, hlm. 10
[15] Hafidz Abdurrahman, Ulumul Qur’an Praktis, ... , hlm. 82
[16] Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, ... , hlm. 10
[17]  Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 2013, hlm. 38-39
[18] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, ... , hlm. 39
[19] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Forum Kajian Budaya dan Agama,Yogyakarta, 2001, hlm. 151
[20]  Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Hadits No. 4311
[21]Muhammad Riyanto, Sejarah Pemeliharaan Al-Qur’an,http://msiuii.wordpress.com/category/segala-katagori/page/2/, 12 Oktober 2010
[22] Muhammad Riyanto, Sejarah Pemeliharaan Al-Qur’an, ... , 12 Oktober 2010.
[23] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, Cetakan ketujuh, Februari 2012, halaman 150
[24] M.Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an / Tafsir. Jakarta : Bulan Bintang, Cetakan ketigabelas,  Tahun 1990, halaman 83-86
[25] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta : PT Pustaka Antar Nusa, Tahun 1994, Cetakan kedua, halaman 247


Belum ada Komentar untuk "Sejarah Turun dan Penulisan Mushaf Al Quran"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel