Biografi Singkat Sunan Ampel - Wali Songo

Wali Songo - Biografi Sunan Ampel 



Menurut Lembaga Riset Islam Pesanteren Luhur Sunan Giri Malang, Raden Rahmat atau Muhammad Ali Rahmatullah bin Ibrahim al-Samarqandy (Sunan Ampel)  bersama ayahnya (Sunan Gresik) datang ke Jawa dengan tujuan dakwah islamiyah pada tahun 1421 M.[1]Beliau datang bersama saudaranya yang bernama Ali Murtadho dan temannya bernama Abu Hurairah, putra Raja Campa. Mereka mendarat di Tuban. Setelah ayah Raden Rahmat wafat, beliau berangkat ke Majapahit menemui bibinya yang bernama Dwarawati (putri Raja Campa), yang dinikahkan dengan Raja Majapahit bernama Prabu Brawijaya yang masih beragama Buddha. Raja Majapahit kemudian menyerahkannya pada Adipati Surabaya yang bernama Arya Lembusura. Arya Lembusura kemudian menempatkan Raden Rahmat sebagai imam di Surabaya, berkediaman di Ampel Denta dengan gelar Sunan Ampel Denta.[2]

Sumber lain menyebutkan bahwa ketika Raden Rahmat ke Majapahit, beliau diminta oleh raha untuk mendidik moral para bangsawan kawula Majapahit yang sedang dalam keadaan kacau.[3]Karena menyanggupi permintaan tersebut, Raden Rahmat diberi hadiah berupa tanah di Ampel Denta, Surabaya. Meski raja menolak masuk Islam, Raden Rahmat diberi kebebasan mengajarkan Islam pada warga Majapahit, asal tanpa paksaan. Selama tinggal di Majapahit, Raden Rahmat dinikahkan dengan Nyai Ageng Manila, cucu dari Arya Lembusura dan putri Tumenggung Arya Teja, Bupati Tuban.[4]Dari pernikahannya dengan Nyai Ageng Manila, mereka mempunyai empat orang anak, yaitu Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifudin (Sunan Drajat), Nyai Ageng Maloka, dan Dewi Sarah yang kemudian diperistri Sunan Kalijaga.[5]

Dalam perjalanan menuju Ampel, Raden Rahmat melewati daerah Pari, Kriyan, Wonokromo, dan Kembang Kuning yang berupa hutan. Di tempat tersebut Raden Rahmat bertemu dengan Ki Wiryo Saroyo yang dikenal sebagai Ki Bang Kuning yang kemudian menjadi pengikut Raden Rahmat. Sewaktu tinggal di kediaman Ki Bang Kuning, Raden Rahmat menikah dengan putri Ki Bang Kuning yang bernama Mas Karimah. Dari pernikahan tersebut mereka memiliki dua orang putri yaitu, Mas Murtosiyah dan Mas Murtosimah.[6]Raden Rahmat juga membangun masjid dan menyebarkan dakwah Islam di sekitar kediaman Ki Bang Kuning. Ki Bang Kuning ikut serta mengembangkan dakwah Islam di sekitar kediamannya, terutama melalui masjid yang dibangun Raden Rahmat. Hingga kini masjid tersebut masih bertahan dan diberi nama Masjid Rahmat.[7]

Ketika sampai di Ampel, langkah pertama yang dilakukan Raden Rahmat adalah membangun masjid sebagai pusat ibadah dan dakwah. Kemudian beliau membangun pesantren mengikuti model pesantren yang didirikan Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang sudah dikenal masyarakat Jawa.[8]Karena memiliki hubungan kekerabatan dengan Arya Lembu Sura yang menjadi penguasa Surabaya pada saat itu, membawa Raden Rahmat pada kedudukan sebagai bupati Surabaya, menggantikan Arya Lembu Sura. Dengan kedudukan sebagai bupati yang berkuasa di suatu wilayah, gerakan dakwah yang dilakukan Raden Rahmat lebih leluasa, terutama dalam usaha memperkuat jaringan kekerabatan dengan penguasa-penguasa di wilayah lain.[9]Dalam waktu yang singkat Raden Rahmat berhasil membangun kepercayaan dan penghormatan dari penduduk yang berada di bawah kepemimpinannya, sehingga mereka member gelar Sunan, Sunan Ampel.[10]

Salah satu strategi dakwah Sunan Ampel adalah dengan memperkuat kekerabatan.[11]Dalam upaya memperkuat kekerabatan tersebut, beliau menikahkan saudaranya yang bernama Khalifah Usen (nama tempat di Rusia selatan dekat Samarkand) dengan putri Arya Baribin, Adipati Madura. Khalifah Usen memiliki saudara bernama Syekh Waliyul Islam yang menikah dengan Retno Sambodi, putri penguasa Pasuruan, Lembu Mirudha. Kerabat Sunan Ampel yang lain adalah Syaikh Maulana Gharib, yang dinikahkan dengan Niken Sundari, putri patih Majapahit bernama Mahodara. Dan ketika putra-putrinya menginjak usia dewasa, beliau melanjutkan kembali usaha dakwah dengan memperkuat kekerabatan melalui pernikahan. Putri dari pernikahannya dengan Nyai Karimah yang bernama Mas Murtosiyah dinikahkan dengan seorang santrinya, yaitu Raden Paku yang bergelar Sunan Giri. Adik Mas Murtosiyah yang bernama Mas Murtosimah dinikahkan dengan santrinya yang lain, yaitu Raden Patah yang mejadi Adipati Demak. Santrinya yang lain, Raden Kusen, adik Raden Patah dinikahkan dengan cucu perempuannya yang bernama Nyai Wilis.[12]

Sunan Ampel mengajarkan ilmu tasawuf, ilmu syariat, tarekat, dan ilmu hakikat. Beliau dikenal dengan falsasah “Moh Lima” yang artinya tidak melakukan lima hal tercela. Kelima hal tersebut adalah moh main (tidak mau berjudi), moh ngombe (tidak mau mabuk), moh maling (tidak mau mencuri), moh madat (tidak mau menghisap candu), moh madon (tidak mau berzina). Falsafah tersebut merupakan solusi dari kemerosotan moral warga Majapahit pada waktu itu. Dalam kehidupan pesantrennya, meskipun beliau menganut madzhab Hanafi, namun beliau sangat toleran pada penganut madzhab lain. Santrinya dibebaskan mengikuti madzhab apapun. Sunan Ampel juga memperhatikan kaderisasi. Hal tersebut terbukti dengan dua orang putranya yang menjadi tokoh Islam terkemuka, dan dua orang putrinya yang dinikahkna dengan santri-santrinya yang kelak juga menjadi pemuka-pemuka agama. Sunan Ampel dipercaya ikut berperan dalam pembangunan Masjid Agung Demak dalam bentuk sumbangan salah satu saka guru di masjid tersebut.

Tidak diketahui pasti kapan waktu wafatnya Sunan Ampel, sehingga muncul beberapa versi tentang hal tersebut. Ada yang menyebutkan tahun wafatnya adalah tahun 1406 M, adapula yang menyebutkan tahun 1481 M. Sumber lain menyebutkan Sunan Ampel wafat satu tahun sebelum berdirinya masjid Demak, yaitu tahun 1478 M. Adapula yang menyebutkan tahun wafatnya adalah tahun 1465 M.[13]Dan diketahui bahwa beliau meninggal dalam keadaan sujud di dalam masjid. Beliau dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel dan dijadikan pusat peziarahan umat Islam di seluruh Nusantara.[14]



[1]Tim Kompas, Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006, hlm. 45.

[2]Agus Sunyoto, Wali Songo “Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan”, Jakarta: Transpustaka, 2011, hlm. 109.

[3]Tim Kompas, Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006, hlm. 47.

[4]Agus Sunyoto, Wali Songo “Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan”, Jakarta: Transpustaka, 2011, hlm. 112.

[5]Tim Kompas, Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006, hlm. 46.

[6]Agus Sunyoto, Wali Songo “Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan”, Jakarta: Transpustaka, 2011, hlm. 111.

[7]Tim Kompas, Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006, hlm. 47.

[8]Tim Kompas, Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006, hlm. 47.

[9]Agus Sunyoto, Wali Songo “Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan”, Jakarta: Transpustaka, 2011, hlm. 113.

[10]Tim Kompas, Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006, hlm. 47.

[11]Agus Sunyoto, Wali Songo “Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan”, Jakarta: Transpustaka, 2011, hlm. 113.

[12]Agus Sunyoto, Wali Songo “Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan”, Jakarta: Transpustaka, 2011, hlm. 114.

[13]Tim Kompas, Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006, hlm. 49.

[14]Agus Sunyoto, Wali Songo “Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan”, Jakarta: Transpustaka, 2011, hlm. 120.

Belum ada Komentar untuk "Biografi Singkat Sunan Ampel - Wali Songo"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel