Pengantar Ilmu Semantik

Makalah Ilmu Semantik - Sebuah Pengantar



Latar Belakang

Dalam berbagai kepustakaan, linguistik disebutkan bahwa bidang studi linguistik yang objek penelitiannya makna bahasa juga merupakan satu tataran linguistik. Semantik adalah bidang kajian linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Dengan kata lain, semantik adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda dalam bahasa. Dalam bahasa Arab, semantik dikenal dengan ilmualdilalah.

Status tataran semantik dengan tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis itu tidak sama. Sebab secara hierarkial, satuan bahasa yang disebut wacana dibangun oleh kalimat; satuan kalimat dibangun oleh klausa;satuan klausa dibangun oleh frase; satuan frase dibangun oleh kata; satuan kata dibangun oleh morfem; satuan morfem dibangun oleh fonem; dan akhirnya satuan fonem  dibangun oleh fon atau bunyi.Semantik, dengan objeknya yakni makna, berada di seluruh atau di semua tataran yang bangun-membangun ini; makna berada di dalam tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis. Oleh karena itu, penamaan tataran untuk semantik agak kurang tepat. Namun, nampaknya para linguis strukturalis tidak begitu peduli dengan masalah makna ini.[1]

Selanjutnya, pemakalah membuat rumusan masalah, diantaranya yaitu ; 1) Apa pengertian dari semantik?2) Apa yang dimaksud hakikat makna?3)Apa saja relasi makna?4) Bagaimana perubahan makna?5) Apa yang dimaksud dengan medan makna dan komponen makna? Maka dari pertanyaan-pertanyaan itu, kami mulai menyusun makalah kami ini.

 

Pembahasan

1.    Definisi Semantik

Secara etimologis, istilah semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari kata semantics dalam bahasa Inggris. Istilah tersebut muncul dan diperkenalkan oleh organisasi filologi Amerika (AmericanPhilologicalAssociation)pada tahun 1894 yang berjudulReflected Meanings: a Point in Semantics. Kata semantique dalam bahasa Prancis, pada dasarnya berasal dari kata sema, nomina dalam bahasa Yunani, yang berarti ‘tanda’ atau ‘lambang’; atau dapat juga dari kata semaino, verbadalamYunani, yang berarti ‘menandai’ atau ‘melambangkan.[2]

Secara terminologis, semantik  dapat didefinisikan sebagai bidanglinguistik yang mengkaji arti bahasa. Hal ini dapat kita pahami dari definisi yang terdapat dalam A Dictionary of Linguistics and Phonetics, yaitu bahwa semantik adalah “a major branch of linguistics devoted to the study of meaning in languange; dan definisi yang tertulis dalam Key Concepts in Language and Linguistics, yaitu bahwa semantik adalah “the branch of linguistics which studies meaning “. Perlu dikemukakan di sini bahwa kajian semantik dalam linguistik sangat dekat dengan kajian filsafat bahasa. Bahkan, terdapat bidang kajian keduanya saling bertumpang tindih. Istilah semantik dalam linguistik sangat dekat dengan kajian filsafat bahasa. Bahkan, terdapat bidang kajian keduanya saling bertumpang tindih. Istilah semantik filosofis (philosophical semantics) dan semantik formal (formal semantics/pure semantics/logical semantics) menandakan keterkaitan hubungan antara semantik dan filsafat bahasa.

Adapun definisi semantik yang lebih lengkap dan lebih mengarah kepada pembahasan semantik dalam linguistik dapat kita lihat dalam pengertian yang dikemukakan oleh Griffiths, yaitu bahwa semantik adalah :

“.......study of the “toolkit” for meaning: knowledge encoded in the vocabulary of the language and its patterns for building more elaborate meanings, up to the level of sentence meanings.”

“[........ kajian terhadap “perangkat” arti: pengetahuan yang tersandikan dalam kosakata bahasa dan bagaimana kata bahasa tersebut digunakan dalam membentuk arti yang lebih luas hingga pada tingkatan kalimat.]”

Berdasarkan berbagai definisi diatas, kita dapat tegaskan kembali definisi yang telah dikemukan pertama kali di atas, yaitu bahwa semantik merupakan cabang linguistik yang mengkaji arti bahasa.[3]


2.    Hakikat Makna (Ma’na:)

Banyak teori tentang makna telah dikemukakan orang. Untuk permulaan barang kali kita ikuti saja pandangan hidup Ferdinand de Saussure dengan teori tanda linguistiknya. Menurut de Saussure setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifian atau “yang diartikan” yang wujudnya berupa runtunan bunyi, dan komponen signifieatau “yang diartikan” yang wujudnya berupa pengertian atau konsep (yang dimiliki oleh signifian) umpamanya tanda linguistik berupa (ditampilkan dalam bentuk ortografis) <meja>, terdiri dari komponen signifian yakni berupa runtunan fonem /m/, /e/, /j/, dan /a/; dan komponen signifienya berupa konsep atau makna ‘sejenis perabot kantor atau rumah tangga’. Tanda linguistik ini yang berupa runtunan fonem dan konsep yang dimiliki runtunan fonem itu mengacu pada sebuah referen yang berada di luar bahasa, yaitu “sebuah meja”.[4]

Dengan demikian, menurut teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure bahwa makna adalah ‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Masalah kita sekarang, di dalam praktik berbahasa tanda linguistik itu bersifat apa. Kalau tanda linguistik itu disamakan identitasnya dengan kata atau leksem, maka berarti makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap kata atau leksem; kalau tanda linguistik itu disamakan identitasnya dengan morfem, maka berarti makna itu adalah pengertian atau konsep yang yang dimiliki oleh setiap morfem, baik yang disebut morfem dasar maupun morfem afiks. Menurut Kridalaksana, misalnya yang menyatakan setiap tanda bahasa (yang disebutnya: penanda) tentu mengacu pada sesuatu yang ditandai (disebutnya: petanda). Lalu,karena afiks-afiks itu juga merupakan penanda, maka afiks itu pun mempunyai petanda.

Memang ada juga teori yang menyatakan bahwa makna itu tidak lain daripada sesuatu atau referen yang diacu oleh kata atau leksem itu. Hanya perlu dipahami bahwa tidak semua kata atau leksem itu mempunyai acuan konkret di dunia nyata. Misalnya leksem seperti agama, kebudayaan dan keadilantidak dapat ditampilkan referennya secara konkret.

Di dalam penggunaannya di dalam pertuturanyang nyata makna kata atau leksem itu seringkali, dan mungkin juga biasanya, terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya dan juga dari acuannya. Misalnya, kata buaya dalam kalimat ‘Dasar buaya, ibunya sendiri ditiupnya.’ sudah terlepas dari konsep asal dan acuannya.[5]

Oleh karena itu, banyak pakar mengatakan bahwa kita baru dapat menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah berada dalam konteks kalimatnya. Coba anda perhatikan makna kata jatuh dalam kalimat-kalimat berikut!

(2a) Adik jatuh dari sepeda.

(2b) Dia jatuh dalam ujian yang lalu.

(2c) Dia jatuh cinta pada adikku.

(2d) Kalau harganya jatuh lagi kita akan bangkrut.

Selanjutnya para pakar itu menyatakan  pula bahwa makna kalimat baru dapat ditentukan apabila kalimat itu berada di dalam konteks wacananya atau konteks situasinya. Sebagai penutur bahasa Indonesia, anda akan memahami apa makna kalimat (3) berikut:

(3) Sudah hampir pukul dua belas!

Apabila diucapkan oleh seorang ibu asrama putri terhadap seorang pemuda yang masih bertandang di asrama itu padahal jam sudah menunjukkan hampir pukul dua belas malam. Lain maknanya apabila kalimat itu diucapkan oleh seorang guru guru agama ditunjukkan kepada santri pada siang hari. Makna kalimat (3) itu yang diucapkan si ibu asrama tentu berarti ‘pengusiran’ secara halus, sedangkan yang diucapkan oleh guru agama itu berarti ‘pemberitahuan bahwa sebentar lagi masuk waktu sembahyang Zuhur’. Kalimat (3) itu mungkin akan bermakna lain lagi apabila diucapkan oleh seorang kartawan kantor kepada temannya pada siang hari; mungkin berarti ‘sebentar lagi waktu beristirahat tiba’.

 

3.    Relasi Makna

Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antar satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Dalam pembicaraan tentang relasi makna ini, masalah-masalah yang dibicarakan biasanya menyangkut kesamaan makna(sinonim; al-Tara:duf), kebalikan makna (antonim; al-Adhdha:d), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), kelainan makna(homonimi), ketercakupan makna (hiponimi), kelebihan makna(redundansi), dsb.[6]

1.    Sinonimi (al-Tara:duf)

Sinonim atau sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Misalnya, antara kata betul dan kata benar; antara kata hamil dan frase duduk perut; dan antara kalimat Dika menendang bola dengan bola ditendang Dika. Contoh dalam bahasa Arab, seperti kata سبيلdengan صراط; atau الحبّdengan الودّ; atau kata  قعد dengan جلس. Contoh dalam bahasa Inggris, antara kata fall dengan kata autumn, antara kata freedom dengan kata liberty, dan antara kata wide dengan kata broad.

Relasi sinonimi ini bersifat dua arah. Maksudnya, kalau satu satuan ujaran A bersinonim denga satuan ujaran B, maka begitu pun sebaliknya yang terjadi pada satuan ujaran B. Perhatikan bagan berikut!

Benar                                                Betul

Dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan persis sama. Ketidaksamaan itu terjadi karena beberapa faktor berikut :

1. Faktor waktu, misal kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan. Dua kata yang bersinonim ini haru disesuaikan dengan konteks waktu yang berlaku. Kata hulubalangmemiliki pengertian klasik sedangkan kata komandan memiliki pengertian yang lebih modern.

2. Faktor tempat atau wilayah. Misalnya, kata saya dan betaadalah dua buah kata yang bersinonim. Kata saya bisa digunakan di mana saja sedangkan kata beta hanya cocok untuk wilayah atau masyarakat Indonesia bagian timur.

3. Faktor keformalan. Misalnya, kata uang dan duit adalah dua buah kata yang bersinonim. Kata uang bisa digunakan dalam konteks formal dan non-formal, sedangkan kata duit hanya bisa digunakan dalam ragam tak formal.

4. Faktor sosial. Contoh, kata saya dan aku adalah bersinonim. Kata saya dapat digunakan oleh siapa saja dan kepada siapa saja; sedangkan kata aku hanya dapat digunakan terhadap orang yang sebaya yang dianggap akrab, atau kepada yang lebih muda atau lebih rendah kedudukan sosialnya.

5. Faktor bidang kegiatan. Contoh, kata matahari dan surya. Kata matahari bisa digunakan dalam kegiatan apa saja atau bisa digunakan secara umum; sedangkan surya hanya cocok digunakan pada ragam khusus, terutama ragam sastra.

6. Faktor nuansa makna. Contohnya, kata-kata melihat, melirik, menonton, meninjau, dan mengintip adalah sejumlah kata yang bersinonim. Namun, antara satu dengan yang lainnya tidak selalu dapat dipertukarkan, karena masing-masing memiliki nuansa makna yang tidak sama.  

  Dari keenam faktor yang dibicarakan di atas, bisa disimpulkan, bahwa dua buah kata yang bersinonim tidak akan selalu dapat dipertukarkan atau disubstitusikan.


2.    Antonimi (al-Adhdha:d)

Antonim atau antonimi adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan yang lain.[7]Misalnya, kata mati berantonim dengan kata hidup, kata guruberantonim dengan kata murid, kata menjual berantonim dengan kata membeli. Contoh dalam bahasa Arab seperti kata الرجاء artinya bisa harapan Xtakut; atau kata المولى berarti hamba sahaya X tuan, dll.

Dilihat dari sifat hubungannya, maka antonimi itu dapat dibedakan atas beberapa jenis, antara lain:

1. Antonimi yang bersifat mutlak. Umpamanya kata الحياء berantonim dengan kata الموت  secara mutlak, sebab sesuatu yang masih hidup tentunya belum mati; dan begitu pun sebaliknya.

2. Antonimi yang bersifat relatif atau bergradasi. Umpamanya kata كبير  dan صغير berantonimi secara relatif, juga antara kata jauh dan dekat, dan antara kata gelap dan terang. Jenis antonim ini bersifat relatif, karena batas antara satu dengan yang lainnya tidak dapat ditentukan secara jelas; batasnya itu sesuai dengan apa yang dijadikan bandingannya.

3. Antonimi yang bersifat relasional. Contoh antara kata البيع dan السِّراء , antara kata الزوج dan الزوجة, antara kata guru dan murid. Antonimi jenis ini jelas disebut relasional karena munculnya yang satu harus disertai yang lainnya. Jika tidak ada salah satunya, maka kata yang lainnya juga tidak ada.

4. Antonimi yang bersifat hierarkial. Misalnya, kata tamtama dan bintara berantonim secara hierarkial; juga antara kata gram dankilogram. Antonimi jenis ini disebut bersifat hierarkial karena kedua satuan ujaran itu berada dalam satu garis jenjang atau hierarki.

5. Antonimi majemuk memiliki pasangan antonim lebih dari satu. Contohnya, kata berdiri dapatberantonim dengan kata duduk, tidur, tiarap, jongkok, atau pun bersila. Contoh lain, kata diam dapat berantonim dengan kata berbicara, bergerak, bekerja, atau pun bertindak. Perhatikan bagan berikut!

            السكوت                                       الكلام

الحركة     

العمل

الجري 

 

 

3.    Polisemi (ta’addud al makna)

Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu.[8]Umpamanya kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna :

1.   bagian tubuh dari leher ke atas; kepala manusia, dll,

2.  bagian yang terletak di atas/ di depan dan merupakan hal penting; kepala kereta api, dll,

3.   suatu benda berbentuk bulat seperti kepala; kepala paku, kepala jarum,

4.   pemimpin atau ketua; kepala sekolah, kepala suku, dll,

5.  jiwa atau orang; seperti dalam kalimat Setiap kepala menerima bantuan sebesar Rp 500.000.00,

6.   akal budi; seperti dalam kalimat Badannya besar tetapi kepalanya kosong.

 

Dalam bahasa Arab, polisemi (ta’addud al makna) juga terdapat pada kataعين yang artinya bisa mata (panca indra), mata air/sumur, mata-mata, atau bentuk bulat matahari.

Dalam kasus polisemi ini, biasanya makna pertama (yang didaftarkan di dalam kamus) adalah makna sebenarnya, makna leksikalnya, makna denotatifnya, atau makna konseptualnya. Adapun yang lain adalah makna-makna yang dikembangkan berdasarkan salah satu komponen makna yang dimiliki kata atau satuan ujaran itu. Oleh karena itu, makna-makna pada sebuah kata atau satuan ujaran yang polisemi ini masih berkaitan satu dengan yang lain.

4.    omonimi (al musytarak al lafdzi)

Homonimi adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknyakebetulan sama; maknanya tentu saja berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Contohnya, antara kata pacar yang bermakna ‘inai’ dan kata pacar yang bermakna ‘kekasih’; antara kata bisa yang bermakna ‘racun ular’ dan kata bisa yang bermakna ‘sanggup’.

Sama dengan sinonimi dan antonimi, relasi antara dua buah ujaran yang homonimi juga berlaku dua arah. Dalam bahasa Arab, kata السائل artinya bisa ‘peminta’ atau ‘sesuatu yang mengalir’. Perhatikan bagan berikut!

Iالسائل                                                   IIالسائل

Pada kasus homonimi ini ada dua istilah lain yang biasa dibicarakan, yaitu homofoni dan homografi. Yang dimaksud dengan homofoni adalah adanya kesamaan bunyi (fon) antara dua satuan ujaran, tanpa memperhatikan ejaannya, apakah sama atau berbeda ejaan. Oleh karena itu, bila dilihat dari bunyi dan lafalnya, maka kata السائل I dan السائلII berhomonim.

 

5.    Hiponimi

Hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam bentuk ujaran yang lain. Hubungan kehiponiman dalam pasangan kata adalah hubungan antara yang lebih kecil (secara ekstensional) dan yang lebih besar. Misalnya dalam bahasa Arab, kata mujammi‘ (penghimpun karya) tercakup dalam kata kâtib (penulis). Namun, tidak berlaku sebaliknya karena hubungan kehiponiman tidak berlaku timbal-balik. Ketercakupan hubungan hiponimi ini digambarkan sebagai berikut!

الكاتب

 

 

 

 

                            مجمّع        مدوّن          محقّق          مؤلّف        مصنّف  

Relasi hiponimi tidak berlaku timbal-balik, sebab kalau kâtib (penulis) berhiponim dengan mudawwin, maka kâtib (penulis)bukan berhiponim dengan mushannif, melainkan berhipernim. Ada juga yang menyebut kâtib (penulis) adalah superordinat dari mushannif dll. Adapun hubungan antara mujammi’ dengan mudawwin, muhaqqiq, muallif, dan mushannif, dll, disebut kohiponim.

Dilihat dari segi lain, masalah hiponimi dan hipernimi ini sebenarnya tidak lain dari usaha untuk membuat klasifikasi  terhadap konsep akan adanya Kelas – kelas generik dan spesifik. jadi, mujammi’, mudawwin, dan mushannifadalah nama – nama spesifik untuk kelas generik kâtib (penulis). Kemudian, karena dalam penyusunan klasifikasi ini kita berusaha mengelompokkan bentuk–bentuk ujaran yang secara semantik menyatakan generik dan spesifik, maka ada kemungkinan sebuah bentuk ujaran yang merupakan generik dari sebuah bentuk spesifik, akan menjadi nama spesifik dari generik yang lebih luas lagi. Misalnya, burung yang menjadi generik, atau hipernim, atau superordinat dari merpati, tekukur, perkutut, dan kepodang akan menjadi hiponim dari unggas. Lalu, unggas yang merupakan hipernim dari burung [itik, ayam, dan angsa] akan menjadi hiponim pula dari generik yang lebih besar,

 

6.    Ambiguiti

Ambiguiti adalah gejala yang memungkinkan terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Tafsiran gramatikal yang berbeda ini umumnya terjadi pada bahasa tulis, karena pada bahsa tulis unsur suprasegmental tidakdapat digambarkan dengan akurat. Misalnya, bentuk buku sejarah baru dapat ditafsirkan maknanya menjadi :

1.Buku sejarah itu baru terbit.

2.Buku itu memuat sejarah zaman baru.

Kemungkinan makna kalimat tersebut terjadi karena kata baru yang ada dalam konstruksi itu, dapat menerangkan buku sejarah dan dapat juga hanya menerangkan kata sejarah.

Ketaksaan dapat juga terjadi bukan karena tafsiran gramatikal yang berbeda, tetapi karena masalah homonimi, sedangkan konteksnya tidak jelas. Contohnya kalimat ‘mereka bertemu paus’, dapat ditafsirkan bahwa (1) mereka bertemu ikan besar atau (2) mereka bertemu dengan pemimpin agama katolik yang ada di Roma. Begitu juga kata kudus dalam kalimat ‘dia memang bukan orang kudus’ bisa ditafsirkan ‘suci’ atau nama kota di Jawa Tengah.

Dilihat dari teks di atas, ketaksaan itu hanya terjadi dalam bahasa tulis, akibat dari perbedaan gramatikal karena ketiadaan unsur intonasi. Namun, ketaksaan itu juga dapat terjadi dalam bahasa lisan meskipun intonasinya tepat. Ketaksaan dalam bahasa lisan, biasanya adalah karena ketidakcermatan dalam menyusun instruksi beranaforis. Sebagaimana yang tecermin dalam teks ‘Ujang dan Nanang bersahabat karib. Dia sangat mencintai istrinya’.

7.    Redundansi

Istilah redundansi biasanya diartikan sebagai berlebih-lebihannya penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran. Umpamanya kalimat Bola itu ditendang oleh Dika tidak akan ada bedanya jika dikatakan Bola itu ditendang Dika, tanpa menggunakan preposisi oleh. Nah, penggunaan kata oleh inilah yang dianggap redundansi. Begitu juga dengan kalimat Nita mengenakan baju berwarna merah, tidak akan berbeda maknanya bila dikatakan Nita berbaju merah. Maka, bentuk pertama disebut redundansi.

 

4.    Perubahan Makna (al-Taghayyur al-Dila:li)

Secara sinkronis (dalam masa yang relatif singkat), makna sebuah kata atau leksem tidak akan berubah; tetapi secara diakronis (dalam waktu yang relatif lama) ada kemungkinan makna sebuah kata akan berubah. Kemudian ada pula perubahan makna yang tidak didasarkan waktu tersebut, yaitu perubahan makna secara pankronis.[9]Kemungkinan ini bukan berlaku untuk semua kosakata yang terdapat dalam sebuah bahasa, melainkan hanya terjadi pada sejumlah kata saja, yang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :

1. Perkembangan ilmu dan teknologi. Adanya perkembangan konsep keilmuan dan teknologi dapat menyebabkan sebuah kata yang pada mulanya bermakna A menjadi bermakna B atau C. umpamanya kata sastra pada mulanya bermakna ‘tulisan, huruf’ lalu berubah menjadi bermakna ‘bacaan’; kemudian berubah lagi dengan bermakna ‘buku yang baik isinya dan baik pula bahasanya’. Selanjutnya, berkembang lagi menjadi ‘karya bahasa yang bersifat imaginatif dan kreatif’. Perubahan makna kata sastra seperti itu adalah karena berkembangnya atau berubahnya konsep tentang sastra itu di dalam ilmu susastra.

2. Perkembangan sosial budaya. Perkembangan dalam masyarakat berkenaan dengan sikap sosial dan budaya, juga menyebabkan terjadinya perubahan makna. Kata saudara, misalnya, pada mulanya berarti ‘seperut’, atau orang yang lahir dari kandungan yang sama; tetapi kini, kata saudara digunakan juga untuk menyebut orang lain, sebagai kata sapaan, yang diperkirakan sederajat, baik usia maupun kedudukan sosial.

3. Perkembangan pemakaian kata. Setiap bidang kegiatan atau keilmuan biasanya memiliki sejumlah kosakata berkenaan dengan bidangnya itu. Umpamanya dalam bidang pertanian, kita dapati kosakata seperti menggarap, menuai, pupuk, hama, dll; dalam bidang agama islam ada kosakata imam, khatib, puasa, dll; dalam bidang pelayaran ada kosakata seperti berlabuh, berlayar, haluan, nahkoda, buritan,dll. Kosakata yang pada mulanya hanya digunakan pada bidangnya itu dalam perkembangannya kemudian digunakan juga dalam bidang-bidang lainnya, dengan makna yang baru, atau agak lain dengan makna aslinya yang digunakan dalam bidangnya.

4. Pertukaran tanggapan indra. Alat indra yang lima mempunyai fungsi masing-masing untuk menangkap gejala-gejala yang terjadi di dunia. Misalnya, rasa getir, panas, danasin ditangkap oleh indra perasa, yaitu lidah; gejala yang berkenaan dengan bunyi ditangkap alat indra pendengar, telinga; dan gejala gelap dan terang ditangkap alat indra penglihat; mata. Namun, karena berkembangnya bahasa, maka banyak terjadi pertukaran pemakaian alat indra. Misalnya, rasa pedas yang seharusnya ditangkap oleh indra perasa menjadi tanggapan indra pendengar, seperti dalam ujaran Kata-katanya sangat pedas; kata manis yang seharusnya ditangkap oleh indra perasa menjadi tanggapan indra penglihatan, seperti dalam ujaran Bentuknya sangat manis.

5. Adanya asosiasi. Yang dimaksud dengan adanya asosiasi yaitu adanya hubungan antara suatu bentuk ujaran dengan sesuatu yang lain berkenaan dengan bentuk ujaran itu, sehingga bila disebut ujaran itu, maka yang dimaksud adalah sesuatu yang lain yang berkenaan dengan ujaran itu. Contohnya, kata amplop. Makna amplop sebenarnya adalah ‘sampul surat’; tetapi, dalam kalimat ‘Supaya urusan cepat beres, beri saja amplop’ berikut, amplop bermakna ‘uang sogok’. Amplop yang sebenarnya harusnya berisi surat, namun dalam kalimat tersebut berisi uang sogok. Jadi, dalam kalimat itu kata amplop berasosiasi dengan uang sogok.[10]

 

5.      Medan Makna

Yang dimaksud dengan medan makna (semantic domain, semantic field) atau medan leksikal adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu. Misalnya, nama-nama warna, nama-nama perabot rumah tangga, atau nama-nama perkerabatan, yang masing-masing merupakan satu medan makna. Banyaknya unsur leksikal dalam satu medan makna antara bahasa yang satu dengana bahasa yang lain tidak sama besarnya, karena hal tersebut berkaitan erat dengan sistem budaya masyarakat pemilik bahasa itu. 

Medan warna dalam bahasa Indonesia mengenal nama-nama merah, coklat, biru, hijau, kuning, abu-abu, putih, dan hitam; dengan catatan, menurut fisika, putihadalah campuran berbagai warna, sedangkan hitam adalah tak berwarna. Untuk menyatakan nuansa warna yang berbeda, bahasa Indonesia memberi keterangan perbandingan, seperti, merah darah, merah jambu, dan merah bata.Bahasa Inggris mengenal sebelas warna dasar, yaitu white, red, green, yellow, blue, brown, purple, pink, orange, dan grey. Sedangkan dalam bahasa Hunanco, salah satu bahas adaerah di Filipina, hanya terdapat empat warna, yaitu (ma) biru, yakni warna hitam dan warna gelap lainnya; (ma) langit, yakni warna putih dan warna cerah lainnya; (ma) rarar, yakni kelompok warna merah; dan (ma) latuy, yakni warna kuning, hujau muda, dan coklat muda.

Jumlah nama atau istilah perkerabatan juga tidak sama banyaknya antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain.  Malah bisa juga konsep penamaannya berbeda, dalam bahasa Indonesia dikenal nama kakak dan adik, yaitu orang yang lahir dari ibu yang sama. Bahasa Inggris menyebut orang yang lahir dari ibu yang sama dengan istilah brother dan sister. Disini jelas perbedaan konsep penamaannya: bahasa Indonesia berdasarkan usia, lebih tua atau lebih muda; sedangkan bahasa Inggris berdasarkan jenis kelamin, lelaki atau perempuan. Dalam dialek Melayu Jakarta ada kombinasi dua konsep itu, meskipun tidak lengkap, yakni di samping ada abang ‘saudara laki-laki lebih tua’ ada juga mpok ‘saudara perempuan yang lebih tua’, adik ‘saudara yang lebih muda baik laki-laki maupun perempuan’.

Berapa banyak kelompok medan makna yang dapat dibuat dari setiap bahasa? Pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan menyebut jumlah angka yang pasti, sebab pengelompokkan kata berdasarkan medan maknanya sangat tergantung pada konsep budaya masing-masing masyarakat pemakai bahasa itu. Di dalam buku Thesaurus of English Word and Phrases Classified and Arranged so as to facilitate the Expression of Ideas and Assist in Literacy Composition oleh Peter Mark Roged terdaftar 1042 kelompok medan makna yang keseluruhannya terdiri dari 250.000 kata dan frase. Namun, dalam studi medan makna ini, Nida mengelompokkan kata-kata menjadi empat kelompok, yaitu kelompok bendaan (entiti), kelompok kejadian atau peristiwa (event), kelompok abstrak, dan kelompok relasi. Anggota kelompok bendaan dan peristiwa tampaknya tidak terbatas, tetapi dua kelompok terakhir bersifat terbatas.

Kata-kata atau leksem-leksem yang mengelompok dalam satu medan makna, berdasarkan sifat hubungan semantisnya dapat dibedakan atas kelompok medan kolokasi dan medan set. Kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmatik yang terdapat antara kata-kata atau unsur-unsur leksikal itu. Umpama, dalam kalimat :

(1)   Tiang layar perahu nelayan itu patah dihantam badai, lalu perahu itu di gulung ombak dan tenggelam beserta segala isinya.

Kata-kata layar, perahu, nelayan, badai, ombak, dantenggelam merupakan kata-kata dalam satu kolokasi, satu tempat atau lingkungan yang sama. Dalam hal ini lingkungan kelautan. Contoh lain, kata-kata cabe, bawang, terasi, garam, merica, dan lada berada dalam satu kolokasi, yaitu yang berkenaan dengan bumbu dapur.

Kalau kolokasi menunjuk pada pada hubungan sintagmatik, karena sifatnya yang linear, maka kelompok set menunjuk pada hubungan paradigmatik, karena kata-kata yang berada dalam satu kelompok set itu saling bisa disubstitusikan. Sekelompok kata yang merupakan satu set yang biasanya mempunyai kelas yang sama, dan tampaknya juga merupakan satu kesatuan, setiap kata dalam set dibatasi oleh tempatnya dalam hubungan dengan anggota-anggota lain dalam set itu. Umpama, kata remaja merupakan tahap perkembangan dari kanak-kanak menjadi dewasa. Sedangkan kata sejukmerupakan suhu di antara dingin dan hangat. Maka kalau kata-kata yang satu set dengan remaja dan sejuk dibagankan menjadi sebagai berikut:

manula/lansia                    terik

dewasa                                panas

remaja                                hangat

kanak-kanak                      sejuk

bayi                                     dingin

Pengelompokkan kata atas kolokasi dan set ini besar artinya bagi kita dalam memahami konsep-konsep budaya yang ada dalam suatu masyarakat bahasa. Namun, pengelompokkan ini sering kurang jelas karena adanya ketumpangtindihan unsur-unsur leksikal yang dikelompokkan itu. Umpamanya, kata candidapat masuk kelompok medan makna kesejarahan. Selain itu, pengelompokkan kata atas medan makna ini tidak mempedulikan adanya nuansa makna denotasi dan konotasi. Umpamanya, kata remaja dalam contoh di atas hanya menunjuk pada jenjang usia, padahal kata remaja itu memiliki juga makna ‘belum dewasa, keras kepala, bersikap kaku, suka mengganggu dan membantah, serta mudah berubah pikiran, sikap, dan pendapat’. Jadi, pengelompokkan kata atas medan makna ini hanya bertumpu pada makna dasar, makna denotatif, atau makna pusatnya saja.[11]

 

Kesimpulan

(1) Semantik adalah bidang kajian linguistik yang mempelajari tentang makna atau arti suatu bahasa, yang dengan kata lain, semantik itu mempelajari sistem tanda dalam bahasa. Dalam bahasa Arab disebut dengan ilmu al-dilalah.

(2) Makna adalah ‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Masalah kita sekarang, di dalam praktik berbahasa tanda linguistik itu bersifat apa.

(3) Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antar satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Beberapa relasi makna :

a. Sinonim (hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya).

b.  Antonim  (hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan yang lain).

c.   Polisemi adalah sebuah kata atau satuan ujaran.

d. Homonimi adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya ‘kebetulan’ sama; maknanya tentu saja berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan.

e. Hiponimi (hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam bentuk ujaran yang lain).

f.  Ambiguiti adalah gejala terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda.

g. Redundansi berlebih-lebihannya penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran.

(4) Secara sinkronis (dalam masa yang relatif singkat), makna sebuah kata atau leksem tidak akan berubah; tetapi secara diakronis (dalam waktu yang relatif lama) ada kemungkinan makna sebuah kata akan berubah. Perubahan makna juga bisa secara pankronis (tidak berdasarkan waktu tertentu).

(5) Medan makna (semantic domain, semantic field) atau medan leksikal adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Chaer, Abdul. 2012. Linguistik Umum. Cetakan keempat. Rineka Cipta: Jakarta .

Chaer, Abdul. 2013. PENGANTAR SEMANTIK BAHASA INDONESIA. Rineka Cipta: Jakarta.

Hidayatullah, Moch. Syarif. 2012.Cakrawala Linguistik Arab.Cetakan pertama. Alkitabah: Tangerang Selatan.

Subuki, Makyun. 2011. Semantik; pengantar memahami makna bahasa.TransPustaka: Tangerang Selatan.

 

 

 



[1]Abdul Chaer, Linguistik Umum. Cetakan keempat (Jakarta: Rineka Cipta. 2012), hal 284.

[2]Abdul Chaer, PENGANTAR SEMANTIK BAHASA INDONESIA. (Rineka Cipta : Jakarta, 2013) hal 2.

[3]Makyun Subuki, Semantik; pengantar memahami makna bahasa (Tangerang Selatan: Trans Pustaka, 2011) hal 4-6.

                                                                                                                                           

[4]Abdul Chaer, Linguistik Umum. Cetakan keempat (Jakarta: Rineka Cipta. 2012) hal.285.

[5]Abdul Chaer, Linguistik Umum... hal.287-289.

[6]Abdul Chaer, PENGANTAR SEMANTIK BAHASA INDONESIA.. hal 83.

[7]Abdul Chaer, Linguistik Umum...hal 299.

[8]Abdul Chaer, PENGANTAR SEMANTIK BAHASA INDONESIA.. hal 101.

[9] Moch. Syarif Hidayatullah. Cakrawala Linguistik Arab. (Alkitabah: Tangerang Selatan, 2012) hal 107.

[10]Abdul Chaer, Linguistik Umum... hal.297-313.

[11]Abdul Chaer, Linguistik Umum... hal.315-318.


Disusun : HANY YULIA RACHMAWATI dan  IDA NUR JANNAH                  

Belum ada Komentar untuk "Pengantar Ilmu Semantik"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel