PERKEMBANGAN ILMU NAHWU

Perkembangan dan Periodisasi Ilmu Nahwu



Ilmu nahwu merupakan bagian dari ilmu bahasa secara umum. Secara keseluruhan, ilmu bahasa meliputi ilmu nahwu, ilmu sharf, ilmu pelafalan, dan ilmu semantik. Ilmu sharf berbicara tentang aturan pembentukan kata. Ia mempelajari timbangan-timbangan kata (wazan) berikut indikasinya, serta bentuk-bentuk perubahan yang sangat beragam seperti penghapusan, penambahan, perentangan, pemendekan, peleburan, pembalika, penggantian, pencacatan, serta keadaan saat terus dan saat berhenti. Dengan kata lain, kata kunci dalam ilmu sharf ialah kata .

Adapun kata kunci dalam ilmu pelafalan ialah suara. Sementara, ilmu semantik menitikberatkan kajiannya pada aspek makna dan penunjukan makna. Titik berat pada aspek makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang makna leksikon dari suatu kata, makna kontekstualnya, makna individual, makna sosial, dan sebagainya. Titik berat pada penunjukan makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang perkembangan makna suatu kata, yang dipengaruhi oleh banyak variabel seperti individu, sosial, kebudayaan, militer, politik, peradaban, dan lain- lain. Adapun ilmu nahwu, kata kuncinya ialah kalimat. Ia secara khusus berbicara tentang jabatan tiap elemen kalimat dan secara umum berbicara tentang aturan mengenai hubungan antar elemen tersebut.

Demikianlah, ilmu nahwu telah digunakan untuk menganalisis secara sintaktik bagian-bagian sebuah kalimat serta hubungan antar bagian-bagian tersebut dalam apa yang dalam tradisi klasik kita sebut sebagai hubungan penyandaran. Jadi ilmu nahwu tidaklah hanya berbicara tentang harakat di akhir kata serta i’rabnya, (6 Sauqi Dhaif, al-Madaris al-Nahwiyyah, h. 34-46.) namun ia juga mengatur tentang bagaimana cara yang baik dalam menyusun dan merangkai kalimat.

Semua cabang ilmu bahasa diatas saling melengkapi satu sama lain. Ilmu- ilmu tersebut dibeda-bedakan hanyalah untuk kemudahan mempelajarinya saja. Kita tidak bisa mengkaji bahasa secara sempurna dengan hanya menggunakan salah satu atau sebagian ilmu-ilmu tersebut dan meninggalkan ilmu yang lain.

Ilmu Nahwu (gramatika bahasa Arab) sejak awal perkembangannya sampai sekarang senantiasa menjadi bahan kajian yang dinamis di kalangan para pakar linguistik bahasa Arab. Sebagai salah satu cabang linguistik (ilmu lughah), Ilmu Nahwu dapat dipelajari untuk dua keperluan. Pertama, Ilmu Nahwu dipelajari sebagai prasyarat atau sarana untuk mendalami bidang ilmu lain yang referensi utamanya ditulis dengan bahasa Arab, misalnya Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, dan Ilmu Fiqih. Kedua, Ilmu Nahwu dipelajari sebagai tujuan utama. Dua bentuk pembelajaran (learning) Ilmu Nahwu itu telah menjadi tradisi yang berkembang secara berkesinambungan di kalangan masyarakat Arab (Islam) dahulu sampai sekarang.

Hampir semua pakar agama Islam sejak akhir abad kesatu Hijriah sampai sekarang mempunyai penguasaan yang baik terhadap Ilmu Nahwu. Bahkan tidak jarang dari mereka yang menjadi pakar dalam bidang nahwu di samping kepakaran mereka dalam bidang agama. Sebagai contoh, Imam Ibnu Katsir, An-Nawawi, Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Hisyam, dan Az- Zamakhsyari adalah tokoh-tokoh handal dalam bidang ilmu agama, dan pada saat yang sama kepakaran mereka dalam bidang Ilmu Nahwu juga diakui di kalangan ulama. Di Indonesia, tokoh- tokoh agama semisal Syekh Nawawi Banten, Buya Hamka, Prof. Mahmud Yunus, dan K.H. Bisri Musthafa juga mempunyai penguasaan nahwu yang mendalam, bahkan rata-rata mereka telah menulis atau menerjemahkan lebih dari satu judul buku tentang nahwu. Sementara itu, tokoh-tokoh nahwu seperti Imam Sibawaih, Al- Farra', Ibnu Jinny, dan Ibnu Yaisy, lebih dikenal sebagai pakar dalam bidang Ilmu Nahwu. Al-Fadlali (1986) dalam bukunya Marakizud-Dirasat an- Nahwiyyah membagi perkembangan Ilmu Nahwu secara kronologis berdasarkan kurun waktu dan peta penyebarannya. Di bagian akhir bukunya dia membuat skema perkembangan Ilmu Nahwu sebagai berikut.


PETA PERKEMBANGAN ILMU NAHWU

Pusat Perkembangan Abad Hijriah ke

  1. Bashrah, Mekah, Medinah Kufah,Baghdad, Mushal, Irbal, Andalus (1) kesatu
  2. Marocco, Persi (2) kedua
  3. Mesir (3) ketiga
  4. Damaskus, Haleb (4) keempat
  5. Nejed, Yaman (5) kelima
  6. Hulah, Eropa (6) keenam
  7. India (7) ketujuh
  8. Romawi (8) kedelapan

Dari peta di atas tampak bahwa Al-Fadlali tidak memasukkan negara- negara Asia Tenggara sepertiIndonesia dan Malaysia dalam peta. Padahal bagaimanapun juga di negara-negara itu perkembangan nahwu cukup pesat. Di samping itu, ia juga tidak mengemukakan alasan mengapa ia langsung melompat dari abad ke 8 menuju abad ke14 dengan mengabaikan lima abad yang ada di antaranya. Namun, terlepas dari kekurangannya, bagan tersebut cukup berarti dalam memberikan gambaran secara global tentang peta perkembangan Ilmu Nahwu.7(Agus  Bajang,  Perkembangan  dan  Sejarah  Ilmu Nahwu, http://agusbajang.blogspot.com/2009/12/perkembangan-dan-sejarah-ilmu-nahwu.html diunduh pada 19 Juni 2012 pukul 21.30 wib)

Sementara itu, Dlaif (1968) membagi perkembangan Ilmu Nahwu berdasarkan aliran-aliran (madzhab) dengan menyebutkan sejumlah tokoh yang dominan pada setiap aliran. Ia menyebutkan secara kronologis lima aliran nahwu sebagai berikut. (1) aliran Bashrah, (2) aliran Kufah, (3)aliran Baghdad, (4) aliran Andalusia, dan (5) aliran Mesir. Dua aliran pertama, Bashrah dan Kufah, disebutnya sebagai aliran utama, karena keduanya mempunyai otoritas dan independensi yang tinggi, kedua aliran tersebut juga mempunyai pendukung yang banyak dan fanatik, sehingga mampu mewarnai aliran-aliran berikutnya. Adapun tiga aliran yang lain disebutnya sebagai aliran turunan yang berinduk pada salah satu aliran utama atau merupakan hasil paduan antara keduanya.

Di Indonesia, sejalan dengan perkembangan agama Islam, Ilmu Nahwu juga banyak dipelajari. Akan tetapi, pembelajaran nahwu di Indonesia lebih banyak sebagai alat (untuk mempelajari bahasa Arab) dan bukan sebagai tujuan. Karena itu, referensi yang banyak dipelajari adalah buku-buku yang bersifat praktis dan textbook oriented yang substansinya mengacu pada peran nahwu sebagai alat bantu pembelajaran agama (Islam), sementara buku-buku yang bersifat historis teoretis cenderung kurang mendapat perhatian.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika referensi nahwu yang banyak ditemukan di pesantren-pesantren maupun di kalangan perguruan tinggi Islam adalah buku-buku semacam Al- Ajrumiyyah dengan berbagai syarah1-nya, Alfiyah Ibnu Malik dengan berbagai syarahnya, dan Al-'Umrithiy. Sementara, buku-buku yang banyak menyinggung aspek historis seperti Sirru Shina'atil I'rab karya Ibnu Jinny, Al-Mazhar karya Jalaluddin Assuyuthi, dan Mizanudz Dzahab 1 Syarah adalah kitab perluasan dari matan. Matan adalah karya orisinil yang ditulis oleh seorang ulama yang biasanya bersifat ringkas dan padat isi, sedangkan syarah berfungsi memperjelas atau memperluas keterangan kata-kata, kalimat atau wacana yang ada pada matan, karya Ibnu Hisyam kurang populer.

Bagi para linguis bahasa arab, atau pemerhati Ilmu Nahwu pada khususnya, pembelajaran nahwu dari perspektif sejarah merupakan suatu hal yang penting untuk dilakukan, karena dengan itu cakrawala mereka tentang dinamika Ilmu Nahwu menjadi lebih luas dan pada akhirnya dalam diri mereka akan tumbuh toleransi yang tinggi terhadap perbedaan - perbedaan yang ada. Selain itu, karya- karya monumental para pakar Ilmu Nahwu sejak abad permulaan sampai

pertengahan abad 20 M itu ada khazanah yang terlalu mahal untuk disia-siakan. Atas dasar kenyataan dan alasan diatas, pada kesempatan ini penulis memaparkan secara global dinamika Ilmu Nahwu pada abad permulaan. Paparan itu mencakupi cikal bakal Ilmu Nahwu, Bashrah sebagai kota kelahiran Ilmu Nahwu, dan tokoh- tokoh pemrakarsa Ilmu Nahwu.

Selain itu kami paparkan perkembangan ilmu nahwu dapat diruntut menjadi tiga periode:

a.   Periode Perintisan (Periode Bashrah)

Perkembangan pada periode ini berpusat di Bashrah, dimulai sejak zaman Abul Aswad sampai munculnya Al-Khalil bin Ahmad, yakni sampai akhir abad kesatu Hijriyah. Periode ini masih bisa dibedakan atas dua sub periode, yaitu masa kepeloporan dan masa pengembangan. Masa kepeloporan tidak sampai memasuki masa Daulah Abbasiyah. Ciri-cirinya ialah belum munculnya metode qiyas (analogi), belum munculnya perbedaan pendapat, dan masih minimnya usaha kodifikasi. Adapun ciri-ciri masa pengembangan ialah makin banyaknya pakar, pembahasan tema-temanya semakin luas, mulai munculnya perbedaan pendapat, mulai dipakainya argumen dalam menjelaskan kaidah dan hukum bahasa, dan mulai dipakainya metode analogi.

b.   Periode Ekstensifikasi (Periode Bashrah-Kufah)

Periode ini merupakan masa ketiga bagi Bashrah dan masa pertama bagi Kufah. Hal ini tidak terlalu mengherankan, sebab kota Bashrah memang lebih dulu dibangun daripada kota Kufah. Pada masa ini, Bashrah telah mendapatkan rivalnya. Terjadi perdebatan yang ramai antara Bashrah dan Kufah yang senantiasa berlanjut sampai menghasilkan apa yang disebut sebagai Aliran Bashrah dengan panglima besarnya Imam Sibawaih dan Aliran Kufah dengan panglima besarnya Imam Al- Kisa’i. Pada masa ini, ilmu nahwu menjadi sedemikian luas sampai membahas tema-tema yang saat ini kita kenal sebagai ilmu sharf.

c.   Periode Penyempurnaan dan Tarjih (Periode Baghdad)

Di akhir periode ekstensifikasi, Imam Al-Ru’asi (dari Kufah) telah meletakkan dasar-dasar ilmu sharf. Selanjutnya pada periode penyempurnaan, ilmu sharf dikembangkan secara progresif oleh Imam Al-Mazini. Implikasinya, semenjak masa ini ilmu sharf dipelajari secara terpisah dari ilmu nahwu, sampai saat ini. Masa ini diawali dengan hijrahnya para pakar Bashrah dan Kufah menuju kota baru Baghdad. Meskipun telah berhijrah, pada awalnya mereka masih membawa fanatisme alirannya masing-masing. Namun lambat laun, mereka mulai berusaha mengkompromikan antara Kufah dan Bashrah, sehingga memunculkan aliran baru yang disebut sebagai Aliran Baghdad. Pada masa ini, prinsip-prinsip ilmu nahwu telah mencapai kesempurnaan. Aliran Baghdad mencapai keemasannya pada awal abad keempat Hijriyah. Masa ini berakhir pada kira-kira pertengahan abad keempat Hijriyah. Para ahli nahwu yang hidup sampai masa ini disebut sebagai ahli nahwu klasik.

Setelah tiga periode diatas, ilmu nahwu juga berkembang di Andalusia (Spanyol), lalu di Mesir, dan akhirnya di Syam. Demikian seterusnya sampai ke zaman kita saat ini.


 

Belum ada Komentar untuk " PERKEMBANGAN ILMU NAHWU"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel