Sejarah Penyusunan Ilmu Nahwu

 Penyusunan Ilmu Nahwu



Di antara prestasi cemerlang yang senantiasa diabadikan oleh sejarah ialah penyusunan (peletakan) ilmu nahwu. Para ahli tata bahasa kontemporer – di Timur maupun di Barat – hanya bisa tercengang dengan penuh rasa takjub, karena ilmu nahwu ternyata sangat sempurna, memiliki kaidah yang teliti, dan hukum- hukumnya senantiasa konsisten. Ini, sungguh, merupakan sebuah penemuan ilmiah sekaligus prestasi pioner dalam bahasa, yang dicapai dibawah petunjuk Kitab Suci Rabb semesta alam dan sunnah Nabi saw. Di samping itu, semua ini juga karena lingkungan yang khas dengan ketercerahan, kejernihan pikiran, kejelasan pandangan, dan kejelasan akan kebenaran. 

Karakter pikiran yang demikian itu telah menghasilkan ingatan yang kuat, ketajaman rasa, kemampuan analisis dan sintesis, kemampuan metodologis dalam menggali hukum, dan kemampuan problem solving melalui kajian yang mendalam. Namun sebelum semua itu, akal Arab telah memiliki orientasi yang amat mulia, yang menjadi bagian dari aqidah dan iman, yakni untuk menjaga Al-Qur’an yang mulia serta memeliharanya dari berbagai kesalahan dan kekeliruan. 

Sesungguhnya sebagian kalangan telah mengakui prestasi pioner ini. Adapun orang-orang yang menyimpan kedengkian, maka mereka berusaha untuk menyuarakan kebatilan dengan baju kebenaran, yakni dengan mengatakan bahwa asal muasal dan referensi tata bahasa Arab ialah tata bahasa lain. Mereka menyebarluaskan paham bahwa para ahli tata bahasa Arab telah dipengaruhi oleh para ahli tata bahasa lain.

Berangkat dari sini, kita hendaknya memahami bahwa bahasan tentang penyusunan ilmu nahwu merupakan bahasan penting yang harus dicermati oleh para generasi muda kita. Mereka harus melakukan pengkajian yang detail atas bahasan tersebut. Dengan demikian pemahaman mereka atas khazanah klasik akan bertambah. Disamping itu, mereka juga akan sanggup membela kemuliaan generasi terdahulu mereka, membentengi diri mereka dari gelombang peragu-raguan dan inferioritas, dan penghancuran khazanah klasik kita yang dilakukan oleh musuh- musuh Islam dan Arab.

Berbicara tentang penyusunan ilmu nahwu akan berhubungan dengan persoalan yang cukup banyak. Siapakah yang menyusunnya? Sebelum pertanyaan ini ialah pertanyaan “Apa sebab-sebab yang mendorong penyusunannya?” Bab apa yang pertama kali disusun dalam ilmu nahwu? Atau barangkali ilmu nahwu disusun secara sekaligus? Dimana dan kapan ia disusun? Lalu apa saja bahasan ilmu ini? Apa tujuan dan fungsinya? Dari mana ia dikembangkan? Demikian seterusnya, yang semua persoalan tersebut akan dibahas berikut ini.

 

Sebab-sebab yang Melatar Belakangi Penyusunan Ilmu Nahwu

Orang-orang Arab pra-Islam merupakan model sebuah masyarakat yang khas dan unik. Mereka memiliki tradisi bahasa yang menjadi patron bagi aturan bahasa secara umum. Pada masa mereka tidak terjadi pergumulan dengan bangsa- bangsa lain yang sampai menimbulkan pengaruh yang signifikan pada bahasa mereka. Ini berkebalikan dengan apa yang terjadi pada zaman sesudah Islam, dengan beberapa alasan yang akan dibahas kemudian.

Bahasa di jazirah Arab pra-Islam bisa dibedakan atas dua tingkatan:

Pertama, tingkatan bahasa fasih, yang berupa bahasa patron yang disepakati, dan berkiblat pada dialek Quraisy yang digunakan dalam bidang keagamaan, politik, perdagangan, dan kebudayaan, sampai-sampai kabilah-kabilah Arab menjadikannya sebagai kiblat dalam berbagai bidang kehidupan.


Kedua,tingkatan dialek, yang terdiri dari dialek-dialek berbagai kabilah yang sangat banyak jumlahnya, yang mana cara dan tradisinya berbeda satu sama lain sampai pada batas-batas tertentu. 

Orang-orang Arab saat itu mampu berbicara dalam kedua tingkatan tersebut, yang fasih maupun dialek. Mereka menggunakan bahasa dialek apabila sedang bercakap-cakap santai dengan keluarga. Apabila mereka pada saat yang lain dituntut untuk memakai bahasa yang fasih maka mereka pun akan melakukannya tanpa merasa kesulitan.


Nahwu sebagai Kaidah Ilmiah Bahasa Arab

Al-Jabiri dalam salah satu bukunya yang sangat terkenal ”Takwîn al-Aql al-Arabi” menyatakan bahwa “jika filsafat disebut sebagai mukjizat bangsa Yunani, maka pengetahuan tentang bahasa adalah mukjizat bangsa Arab.1Menurutnya, sumbangan terpenting bangsa Arab terhadap peradaban yang diwariskan kepada dunia adalah “agama dan bahasa”. Keduanya saling terkait erat dan tidak dapat dipisahkan.


Munculnya berbagi perselisihan mazhab, baik dalam fiqih maupun kalam jika dicermati, di antaranya, juga disebabkan oleh bahasa, dalam hal ini adalah masalah interpretasi teks (bahasa) al-Qur’an. Begitu pula dalam perselisihan politik, meskipun berlatar belakang sosial, ekonomi dan golongan, namun adakalanya pula timbul dari soal pemahaman teks (bahasa) agama.


Itu sebabnya, aktifitas ilmiah pertama yang dilakukan dalam tradisi intelektual Islam adalah terkait dengan masalah kebahasaan seperti kodifikasi bahasa, meletakkan dasar-dasar linguistik dan merumuskan gramatikanya. Metode ilmiah yang digunakan dalam pembahasan bahasa ini lalu dijadikan mode dalam berbagai aktifitas intelektual lainnya. Karenanya, tradisi keilmuan Islam yang berkembang setelah ilmu bahasa sangat terwarnai oleh metode dan cara berpikir para linguist dan grammarian generasi pertama. Oleh karena itu, pada bagian ini penting rasanya menelusuri kembali mula pertama aktifitas dunia kebahasaanyang kemudian disebut dengan ilmu nahwu, terutama yang terkait dengan penggagas disiplin tersebut dan perkembangannya.

Berbagai literatur Arab yang membahas historisitas nahwu hampir dapat dipastikan bahwa pada umumnya memiliki nuansa pengkajian yang seirama, yaitu terfokus pada dua hal: peletak dasar (penggagas) disiplin nahwu, dan kedua latarbelakang kelahirannya. Terkait dengan soal pertama, perbincangan yang mewarnai berbagai literatur Arab berkisar pada “pro-kontra” dalam memastikan nama utama yang dianggap sebagai penggagas ilmu nahwu ini. Paling tidak terdapat lima nama yang disebut-sebut secara kontroversial sebagai panggagasnya, yaitu; Abu al-Aswad al-Du’ali, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdurrahman bin Hurmuz dan Nashr bin Ashim al-Laitsi.2

Kajian ini tidak akan larut dan terjebak pada kontroversi di atas, sebab hampir dapat dipastikan semua nama yang tersebut tadi memiliki peran masing- masing dalam membidani kelahiran dan pertumbuhan nahwu. Abu al-Aswad al- Du’ali dan para muridnya yaitu Anbasah al-Fil, al-Aqran, Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mur, misalnya, dalam berbagai literatur diakui sebagai penggagas awal ilmu nahwu. Abu Aswad al-Du’ali berjasa merumuskan “i’rab” dan pembagiannya, semenatra para muridnya mengembangkannya dan menemukan istilah-istilah teknis semisal “al-mubtada’, al-fa’il dan al-maf’ul”. 

Kemudian murid dari para murid Abu Aswad terutama Ibnu Abi Ishaq al-Hadhrami, Isa bin Umar al- Tsaqafi dan Abu Amr bin al-Ala’ lebih jauh mengembangkan teori-teori yang telah dirintis di atas dengan cara membuat rumusan tatabahasa yang sedikit lebih luas dengan melakukan penelitian mendalam mengenai karakter bahasa Arab, ia juga dianggap sebagai penggagas metode “ta’lil dan qiyas” dalam nahwu.3Lebih dari itu, generasi ini juga telah membukukan teori-teori mereka seperti yang dilakukan oleh Isa bin Umar dalam karyanya”Kitâb al-Jâmi’ dan Kitâb al-Mukammil ”.4

Sementara terkait dengan latar belakang yang mendorong lahirnya ilmu nahwu ini hampir semua literatur yang tersedia sependapat yaitu disebabkan karena semakin meluasnya kesalahan-kesalahan berbahasa secara baik dan benar menurut standar bahasa Arab yang fasih, atau yang lebih akrab disebut dengan istilah “al- Lahn”.5

Terlepas dari faktor utama yang mendorong proses ilmiah bahasa Arab (kodifikasi dan perumusan gramatikanya), misalnya saja demi menjaga kemurnian bahasa al-Quran atau karena meluasnya “lahn” seperti di tengah masyarakat seperti disinggung di atas, atau siapapum penggagas utama cabang pengetahuan nahwu ini, yang pasti aktifitas ilmiah tersebut telah menjadi catatan penting dalam sejarah intelektual Islam yang menandai adanya suatu perubahan radikal dalam dunia kebahasaan Arab. Aktifitas intelektual tersebut telah merubah bahasa Arab dari sebuah bahasa non ilmiah (tidak dapat dipelajari dengan metode ilmiah) menjadi bahasa ilmiah, bahasa yang memiliki aturan dan sistem seperti lazimnya obyek ilmiah lainnya.

Dalam kaitan ini, Khalil bin Ahmad al-Farahidi (100-170 H) dipandang sebagai orang yang paling berjasa dalam proses ilmiah yang sebenarnya dalam bahasa Arab. Pengetahuannya yang begitu luas baik tentang hadits, fikih, bahasa, matematika dan logika formal (manthiq) dan didukung dengan kecerdasan yang luar biasa, ilmu nahwu ia kembangkan sedemikian rupa baik secara teoretik maupun cakupan kajiannya. Dengan kata lain, bahasa Arab mulai benar-benar menjadi bahasa yang ilmiah dan dapat dipelajayjri secara metodologis dan sistematis sejak ia dibuat rumusan tatabahasanya yang komprehensif oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidi ini.6 Oleh karena itu, pada umumnya kajian seputar metode dalam proses ilmiah bahasa Arab lebih terfokus pada penelusuran metode yang digunakan oleh Khalil tersebut. Tulisan ini juga akan bertitik tolak dari hal yang serupa pula.


1 Muhammad Abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-Arabi, (Beirut: Markaz Dirasah Wahdah al- Arabiyyah, 1989), cet. IV, h. 76.

2  Abd  al-‘Al  Salim  Mukrim,  al-Quran  al-Karim  wa  Atsaruhu  Fi  al-Dirasat  al-Nahwiyyah, (Mesir: Dar al-Maarif, t.t), h. 49.

3 Sauqi Dhaif, al-Madaris al-Nahwiyyah, (Mesir: Dar al-Maaris, t.t), h. 18.

4 Abdul Aziz Ahmad Allam, Min Tarikh al-Nahwi al-Arabi, dalam majalah ”Majallah”, Jami’ah al-Imam bin Saud, edisi II, 1401-1402.

5 Abd al-‘Al Salim Mukrim, al-Quran al-Karim wa Atsaruhu Fi al-Dirasat al-Nahwiyyah, h. 45-50.

Belum ada Komentar untuk "Sejarah Penyusunan Ilmu Nahwu"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel