Ekonomi Imperium Dinasti Abbasiyah

Perkembangan Imperium Ekonomi Pada Masa Abbasiyah


Kehidupan pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari zaman sebelumnya. Menurut Zaidan, bahwa masyarakat yang ada pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah terbagi menjadi dua kelas yaitu: kelas khusus dan kelas umum. Kehidupan sosial masyarakatnya menunjukkan adanya struktur kelompok atau kelas yang terdiri dari:

  • Kelas penguasa, yaitu kelompok orang Arab yang memegang kekuasaan.
  • Kelas menengah, yang terdiri dari orang Islam yang bukan (penduduk asli suatu daerah yang kemudian masuk Islam).
  • Kelompok nonmuslim yang berada di bawah perlindungan pemerintah/kekuasaan Islam, disebut dengan kaum dzimmi.
  • Kelompok kaum pekerja, yang terdiri dari kaum budak berlian.

Namun, pada masa kejayaan peradaban Islam (Abbasiyah) telah terjadi pembauran antara kelompok-kelompok tersebut, sehingga dapat membentuk komunitas masyarakat dan kehidupan sosial budaya yang stabil dengan diiringi oleh mobilitas-mobilitas sosial yang dinamis. Demikian pula perkembangan sikap-sikap demokrasi di kalangan masyarakat, menyebabkan secara berangsur-angsur pembebasan para budak berlian, perkawinan campuran antara berbagai kelompok masyarakat sehingga timbullah kerja sama yang serasi dengan penuh toleransi dalam menghadapi permasalahan-permasalahan kehidupan serta dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup bersama.[1]


Kehidupan ekonomi pada hakikatnya adalah usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat manusia, terutama yang berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat material. Sedangkan kemajuan dalam bidang ekonomi ini bisa dilihat dari berkembangnya keuangan kas negara yang banyak. Pada masa pemerintah Dinasti Abbasiyah, sistem perekonomian dibangun dengan menggunakan sistem ekonomi pertanian, perdagangan, perindustrian dan pertambangan.[2] Pada masa khalifah Al-Mahdi inilah perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian dilakukan melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan. Bashrah merupakan pelabuhan yang terpenting pada saat itu.[3] 


Selain itu, banyak sekolah pertanian dan perkebunan dibuka pemerintah sebagai tempat praktek pertanian dan perkebunan tersebut. Melalui sekolah inilah, perkembangan pada sektor pertanian dan perkebunan mengalami kemajuan dan memberikan pengaruh pada rasio atau pemikiran kaum muslim. Mereka dapat memperluas cakrawala pemikiran secara teoritis karena telah mempelajari bermacam-macam tumbuh-tumbuhan, tanah-tanah yang baik serta penggunaan berbagai macam pupuk untuk tumbuhan tersebut sehingga dapat menghasilkan gandum, beras, kurma dan zaitun (oliver).[4]


Popularitas Dinasti Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma’mun (813-833 M). Ketika al-Rasyid memerintah, negara dalam keadaan makmur, kekayaan melimpah, keamanan terjamin walaupun ada juga pemberontakan dan luas  wilayahnya mulai dari Afrika Utara hingga ke India.[5] Kekayaan yang banyak tersebut dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, seperti rumah sakit, lembaga pendidikan kedokteran dan farmasi.[6] Menurut Maidir Harun dan Firdaus, bahwa pada masa ini kekayaan negara sekitar 42 milyar dinar. Ini belum temasuk uang yang berasal dari pajak hasil bumi. Jumlah diatas merupakan hal yang luar biasa pada masa itu.[7] Sehingga pada masa beliau menjadi khalifah, sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. 


Di samping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Sampai-sampai dikatakan bahwa tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini.[8]Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.[9] Jasa Bani Buwaih juga terlihat dalam pembangunan kanal-kanal, masjid-masjid, beberapa rumah sakit dan sejumlah bangunan umum lainnya. Kemajuan tersebut diimbangi dengan laju perkembangan ekonomi dibidang pertanian, perdagangan dan industri terutama permadani.[10]

 

Perkembangan di Bidang Pertanian

Dunia Islam yang berkembang dan mencakup wilayah dunia yang cukup luas, baik di Barat maupun di Timur pada umumnya terdiri dari daerah-daerah yang subur, sehingga corak perekonomiannya adalah pertanian. Nasib petani lebih baik daripada sebelum pemerintahan Islam, sebab perhatian pemerintah sangat besar dalam pembuatan irigasi, penggalian terusan, khususnya di wilayah Sungai Tigris, Efrat, Nil dan perluasan tanah pertanian. Mereka mendatangkan sayur-sayuran dan buah-buahan dari Asia Barat seperti buah mangga, kentang dan sejenisnya dari Amerika ada pohon limau, pohon sejenis jeruk nipis didatangkan dari tanah Melayu, semua ditanam sebagai kegiatan pertanian mereka. 


Di Persia terdapat kegiatan perkebunan tebu dengan kilangnya dan perkebunan serupa juga ada di Syiria.Di Andalusia kegiatan pertanian tidak kalah maju pada masa Khalifah Abdurrahman ad-Dakhil. Tak sejengkal pun tanah yang tidak dipergunakan untuk kegiatan produksi, khususnya dalam bidang pertanian. Mereka menggali kanal, menanam anggur, buah delima, jeruk, tebu, katun dan kunti serta tanaman lainnya. Di dataran rendah di sebelah tenggara Andalusia terdapat tanaman gandum, terigu, buah zaitun dan buah-buahan lainnya.[11]


Pertanian maju pesat pada awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah karena pusat pemerintahannya berada di daerah yang sangat subur, di tepian sungai yang dikenal dengan nama Sawad. Pertanian merupakan sumber utama pemasukan negara dan pengolahan tanah hampir sepenuhnya dikerjakan oleh penduduk asli, yang statusnya mengalami peningkatan pada masa rezim baru. Lahan-lahan pertanian yang terlantar dan desa-desa yang hancur di berbagai wilayah kerajaan diperbaiki dan dibangun secara perlahan-lahan. Mereka membangun saluran irigasi baru sehingga membentuk “jaringan yang sempurna”. Tanaman asal Irak terdiri atas gandum, padi, kurma, wijen, kapas, dan rami. Daerah yang sangat subur berada di bantaran tepian sungai ke selatan, Sawad, yang menumbuhkan berbagai jenis buah dan sayuran, yang tumbuh di daerah panas maupun dingin. Kacang, jeruk, terong, tebu, dan beragam bunga, seperti bunga mawar dan violet juga tumbuh subur. Usaha-usaha tersebut sangat besar pengaruhnya dalam meningkatkan perdagangan dalam dan luar negeri. Akibatnya kafilah-kafilah dagang kaum muslimin melintasi segala negeri dan kapal-kapal dagangnya mengarungi tujuh lautan.

 

Perkembangan di Bidang Industri dan Perdagangan

Di samping pertanian, pada masa itu kemampuan untuk menciptakan dan membuat benda-benda budaya yang memenuhi kebutuhan hidup yang bersifat material sudah berkembang pula, sehingga perekonomian masyarakat Islam pun diwarnai oleh perindustrian dan kerajinan, terutama di kota-kota pusat kehidupan sosial budaya pada saat itu.Di Persia dan Irak kegiatan pertenunan menghasilkan barang-barang tekstil yang bermutu tinggi. Pabrik-pabrik di Susiana terkenal dengan kain damastnya, kain tirai sutra, barang-barang dari bulu unta dan kambing baju jubah dari pintalan sutra. 


Di beberapa kota wilayah Syiria terkenal dengan gelasnya yang halus, tipis dan bening. Di Baghdad dan Samarkand terkenal dengan pabrik kertasnya yang bermutu tinggi yang diperkenalkan oleh Tiongkok. Di Andalusia aktivitas industri lebih maju lagi, hasil industri kulit dari Andalusia dibawa ke Maroko, lalu diangkut ke Inggris dan Prancis. Di Kordova, Malaga, Almeria serta pusat perdagangan lainnya terdapat industri wol dan sutra. Gelas dan kuningan terdapat di Almeria, pusat barang pecah belah terdapat di Valencia, emas dan perak terdapat di Algarve dan Yaen, besi dan timah hitam di Kordoba, batu delima di Malaga, industri pedang terdapat di Toledo dengan bentuk dan modelnya.[12]


Tak ketinggalan pula, pada masa Dinasti Abbasiyah ekonomi perdagangan pun berkembang antardaerah-daerah penghasil pertanian dan perindustrian/kerajinan. Pada masa kejayaan peradaban Islam telah berkembang pula sistem perdagangan internasional, baik dengan dunia Barat (Bizantium dan Eropa pada umumnya) maupun dengan dunia Timur (India, Tiongkok dan  Nusantara) dengan daerah-daerah Islam pusat-pusat kehidupan sosial budaya dan pemerintahan, sebagai pusat-pusat perdagangan internasional tersebut.[13] Ekonomi imperium Abbasiyah paling dominan digerakkan oleh perdagangan. 


Sudah terdapat berbagai macam industri seperti kain linen di Mesir, sutra dari Syiria dan Irak, kertas dari Samarkand, serta berbagai produk pertanian seperti gandum dari Mesir dan kurma dari Irak. Hasil-hasil industri dan pertanian ini diperdagangkan ke berbagai wilayah kekuasaan Abbasiyah dan negara lain. Karena industralisasi yang muncul di perkotaan ini, urbanisasi tak dapat dibendung lagi. Selain itu, perdagangan barang tambang juga semarak. Emas yang ditambang dari Nubia dan Sudan Barat melambungkan perekonomian Abbasiyah.


Perdagangan dengan wilayah-wilayah lain merupakan hal yang sangat penting. Secara bersamaan dengan kemajuan Dinasti Abbasiyah, Dinasti Tang di Cina juga mengalami masa puncak kejayaan sehingga hubungan Perdagangan antara keduanya menambah semaraknya kegiatan perdagangan dunia. Permulaan masa kepemimpinan Dinasti Abbasiyah, perbendaharaan negara penuh dan berlimpah-limpah, uang masuk lebih banyak dari pada pengeluaran. 


Khalifah al-Mansyur (754-775 M) adalah khalifah kedua Dinasti Abbasiyah yang telah meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi ekonomi dan keuangan negara. Dia mencontoh pada Khalifah Umar bin Khattab dalam menguatkan Islam. Dia yang membangun kota Baghdad yang sangat indah dan strategis letaknya ditinjau dari segi perdagangan. Kota ini bahkan terkenal dalam cerita seribu satu malam (The Thousand and One Night). Letaknya di sebelah Barat tepi sungai Tigris dekat puing-puing kota Ctesiphon, ibukota kerajaan Persia dulu.Demikianlah kota Baghdad yang merupakan jalan raya bagi pelayaran dunia pada waktu itu. Di samping itu Basrah merupakan kota pelabuhan yang ramai disinggahi oleh kapal-kapal dagang dari Timur dan Barat dan sebaliknya. Kota inipun membawa kemajuan bagi perdagangan yang memperoleh penghasilan besar.[14] Dan keberhasilan kehidupan ekonomi maka berhasil pula dalam:

  • Pertanian, Khalifah membela dan menghormati kaum tani, bahkan meringankan pajak hasil bumi mereka, dan ada beberapa yang dihapuskan sama sekali.
  • Perindustrian, Khalifah menganjurkan untuk beramai-ramai membangun berbagai industri, sehingga terkenallah beberapa kota dan industri-industrinya.

Perdagangan, Segala usaha ditempuh untuk memajukan perdagangan seperti:

  • Membangun sumur dan tempat-tempat istirahat di jalan-jalan yang dilewati kafilah dagang.
  • Membangun armada-armada dagang.
  • Membangun armada: untuk melindungi parta-partai negara dari serangan bajak laut.

Dari segi transportasi yang digunakan, perdagangan dunia Islam klasik dapat dibagi atas perdagangan maritis, caravan (kafilah) dan perdagangan sungai. Perdagangan maritim menggunakan kapal layar sebagai armada pengangkutan. Komoditas perdagangan diangkut oleh armada pelayaran melalui samudra dan lautan. Perdagangan caravan menggunakan hewan sebagai alat pengangkut. Suatu kafilah terdiri dari ratusan unta, kuda atau keledai. Perdagangan sungai menggunakan alat pengangkutan sungai dan kapal yang digunakan pada masa itu. 


Pesatnya dunia perdagangan pada saat itu menumbuhkan kota dagang, seperti Baghdad, Basrah, Siraf, Kairo dan Iskandaria. Pedagang-pedagang muslim melakukan perniagaan ke Timur sampai ke Tiongkok, India dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Mereka juga melakukan perniagaan ke arah Barat sampai ke Maroko, Andalusia (Spanyol), Prancis, Inggris dan negeri Barat lainnya. Mereka kemudian mengekspor barang seperti kurma, gula, kain wol, gelas, bajak dan sebagainya. Serta mengimpor rempah-rempah, kapur barus, sutra dari Asia, gading, kayu arang dan bedak dari Afrika.


Selanjutnya kota-kota dagang bermunculan pula di Andalusia, seperti Sivilia, Kordopa, Malaka dan sebagainya. Sivilia sebuah pelabuhan sungai dipergunakan untuk mengekspor katun, zaitun dan minyak. Malaga mengekspor kunyit, pualan dan gula. Hasil produksi Andalusia sampai ke India dan Asia Tengah melalui Alexandria dan Konstantinopel. Di samping itu, mereka sendiri mengimpor pakaian dari Mesir dan penyanyi dari Eropa dan Asia.[15] Selain ketiga hal tersebut, juga terdapat peninggalan-peninggalan yang memperlihatkan kemajuan pesat Dinasti Abbasiyah.

  • Istana Qarruzzabad di Baghdad
  • Istana di kota Samarra
  • Bangunan-bangunan sekolah
  • Kuttab
  • Masjid
  • Majlis Muhadharah
  • Darul Hikmah[16]
  • Masjid Raya Kordova (786 M)
  • Masjid Ibnu Taulon di Kairo (876 M)
  • Istana al-Hamra di Kordova
  • Istana al-Cazar, dan lain-lain.

Faktor-faktor yang menyebabkan kemajuan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat tercapai pada masa Dinasti Abbasiyah, antara lain sebagai berikut:[17]

  • Kondisi politik yang stabil dan sistem pemerintahan yang kondusif, bagi pemerintah dan masyarakat digunakan pembuka jalur-jalur ekonomi sebagai alternatif pemenuhan kebutuhan hidup.
  • Tidak adanya ekspansi baru pada masa ini benar-benar dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan kegiatan di bidang ekonomi dan kesejahteraan mereka di semua sektor.
  • Besarnya arus permintaan (demand) bagi kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari baik yang bersifat primer, sekunder maupun tersier telah mendukung para pelaku ekonomi untuk makin memperbesar kuantitas persediaan (suplai) barang dan jasa.
  • Besarnya arus permintaan barang  disebabkan karena peningkatan jumlah penduduk terutama di wilayah perkotaan yang menjadi basis pertukaran aneka macam komoditas komersial.
  • Luasnya wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah mendorong perputaran dan pertukaran kebutuhan komoditas menjadi ramai. Wilayah-wilayah bekas jajahan Persia, Bizantium menjadi berkah bagi peningkatan ekonomi, karena sebelum dikuasai Islam daerah tersebut menyimpan potensi ekonomi yang besar.
  • Jalur transportasi laut menjadi sarana yang sangat menunjang bagi kelancaran pengiriman barang-barang dan dibantu oleh kemahiran para pelaut muslim yang mahir dalam ilmu kelautan atau navigasi.
  • Etos ekonomi para khalifah dan pelaku ekonomi dari golongan Arab membuktikan sebagai pelaku ekonomi yang tangguh.Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa perdagangan sudah menjadi bagian hidup orang Arab, apalagi kenyataan juga mengatakan bahwa Nabi sendiri juga adalah pedagang.[18]

 

KESIMPULAN

Pemerintahan Dinasti Abbasiyah terbentuk terdiri dari berbagai macam struktur kelas masyarakat menyebabkan berkembangnya sikap-sikap demokrasi di kalangan kelompok masyarakat sehingga timbullah kerja sama yang baik. Berawal dari sinilah perkembangan ekonomi Dinasti Abbasiyah dimulai, baik dibidang pertanian, perdagangan, perindustrian dan pertambangan. Adapun khalifah yang memiliki peran terhadap perkembangan ekonomi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah adalah Khalifah Abu Ja’far al-Mansyur (754-775 M), Khalifah Abu Abdullah Muhammad al-Mahdi (775-785 M), Khalifah Abu Ja’farHarun al-Rasyid (786-809 M) dan Abu Ja’far al-Ma’mun (813-833 M)serta Khalifah Abdurrahman ad-Dakhil.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Susmihara. 2013. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Penerbit Ombak

Harun, Maidir dan Firdaus. 2002. Sejarah Peradaban Islam. Ed. 1. Cet. 1. Padang: IAIN-IB Press

Yatim,Badri. 2010. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Ed. 1. Cet. 22. Jakarta: Rajawali Pers

Amin, Samsul Munir. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Ed. 1. Cet. 1. Jakarta: Amzah

Faqih, Aunur Rahim dan Munthoha. 1998. Pemikiran dan Peradaban Islam. Ed. 1. Cet. 1. Yogyakarta: UII Press

Sulaiman,Rusydi. 2014. Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam. Ed. 1. Cet. 1. Jakarta: Rajawali Pers




[1] Susmihara, Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013, Hlm. 251

[2]Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Ed. 1, Cet. 1, Padang: IAIN-IB Press, 2002, Hlm. 15

[3]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Ed. 1, Cet. 22, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, Hlm. 52

[4]Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Hlm. 15

[5]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Ed. 1, Cet. 1, Jakarta: Amzah 2009, Hlm. 144

[6]Aunur Rahim Faqih dan Munthoha, Pemikiran dan Peradaban Islam, Ed. 1, Cet. 1, Yogyakarta: UII Press, 1998, Hlm. 35

[7]Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Hlm. 17

[8]Rusydi Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam, Ed. 1, Cet. 1, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, Hlm. 259

[9]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Hlm. 53

[10]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Hlm. 71

[11]Susmihara, Sejarah Peradaban Islam, Hlm. 289

[12]Susmihara, Sejarah Peradaban Islam, Hlm. 290

[13]Susmihara, Sejarah Peradaban Islam, Hlm. 290

[14]Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Hlm. 16

[15]Susmihara, Sejarah Peradaban Islam, Hlm. 291

[16]Susmihara, Sejarah Peradaban Islam, Hlm. 284-285

[17]Susmihara, Sejarah Peradaban Islam, Hlm. 292

[18]Susmihara, Sejarah Peradaban Islam, Hlm. 293

Belum ada Komentar untuk "Ekonomi Imperium Dinasti Abbasiyah "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel